Tulisan akan memaparkan munculnya kesadaran “Orang” bahwa pada hakekatnya bumi ini adalah sawah yang tanahnya liat/keras dan memerlukan “Kerbau” sebagai alat bantu untuk mengolahnya serta “Minang” sebagai sumber kehidupan “Manusia”.
Keterangan gambar :
Empat nagari binary yang bertetangga dengan kerajaan/nagari Pagaruyuang. Sebelum kedatangan penjajah Belanda, keempat nagari ini berkelompok secara adat. Setelah perang Padri berakhir, Belanda menyatukannya dengan sebutan kelarasan Tanjuang.
Mn = Lokasi keberadaan minang, sumber aie nan janieh (mata air hexagonal). Empat nagari binary yang bertetangga dengan kerajaan/nagari Pagarruyuang
1 = Nagari Tanjuang-Sungayang
2 = Nagari Talago-Sungaipatai
3 = Nagari Andaleh-Baruahbukik
4 = Nagari Sawahliek-Singkayan —> nagari inilah kemudian yang berganti nama menjadi Minangkabau
5 = Nagari Pagarruyuang
6 = Nagari Suruaso
7 = Nagari Kototangah
8 = Nagari Tanjuangbarulak
Luhak nan Tuo terentang di antara gunung Merapi, gunung Singgalang dan gunung Sago. Di lembah-lembah sempit di antara ketiga kaki gunung tersebut, manusia membangun komunitas-komunitas untuk memajukan peradabannya.
Dengan topografi semacam ini, maka banyak ditemui mata-air yang ke luar langsung dari perut bumi, dan selanjutnya air itu mengalir ke hulu-hulu sungai yang umumnya bermuara ke timur pulau Sumatera.
Komunitas-komunitas asli ini (menurut tambo asalnya dari benua Ruhum, keturunan Iskandar Zulkarnain) menamai teritori mereka dengan sebutan nagari. Kata nagari juga dipakai di India, Jawa dan di tempat lainnya.
Setiap nagari telah terorganisasi dengan baik untuk memenuhi kebutuhan anak-nagarinya (warga negara) masing-masing. Ibarat negara-negara kecil, maka setiap nagari adalah republik merdeka yang tidak diperintah oleh kekuasaan luar, bersifat demokratis dan saling menjaga hubungan baik di antara sesama (Cupak salingka batuang, pusako salingka kaum, adat/peraturan salingkuang nagari).
Tanah dan air di suatu nagari adalah suci dengan sebutan “tanah tumpah darah”, tidak boleh dimiliki orang asing/diperjual-belikan. Orang asing dimungkinkan berdomisili di suatu nagari asalkan mau malakok (menempel) atau menjadi kamanakan dari “urang nan barasa”.
Anggota masyarakat dikelompokkan berdasarkan geneologis kaum dan suku. Umumnya di setiap nagari terdapat lk. 20 sampai lk. 30 orang yang bergelar datuak. Setiap kaum dipimpin oleh datuaknya masing-masing, yang biasanya memiliki gelar kebesaran dan bersifat turun-temurun.
Dari sebutan gelar datuak, tergambar kebesaran/harga diri dari kaum itu sendiri, misal: Datuak Maharajo Dirajo, Datuak Manjinjiang Alam, Datuak Paduko nan Bagalang Kaki Ameh dsb. Setingi-tinggi/ sebesar-besarnya raja di Minangkabau, dia hanyalah berkuasa terhadap lingkungan kaumnya saja! Atau duduak samo randah, tagak samo tinggi.
Melihat jumlah pangulu-pangulu asli yang bergelar datuak di suatu nagari, maka diperkirakan dahulunya suatu organisasi negara orang-orang Minangkabau jumlahnya hanya untuk mengatur sekitar 500 sampai 3000 orang.
Suatu nagari tak pernah menaklukkan nagari lainnya guna merebut tanah atau untuk meminta upeti kepada mereka.
Kualitas kehidupan kamanakan (di Jawa disebut kawula atau rakyat) di suatu nagari lebih diutamakan daripada kuantitas (jumlah). Di jaman moderen, pemikiran semacam ini diaplikasikan berupa pendidikan/program keluarga berencana (berkualitas), penghormatan kepada individu (HAM), kepemimpinan masyarakat/negara yang tidak-sentralistik (demokrasi), peningkatan kualitas SDM (kesehatan-pendidikan). Kini orang Barat baru menyadarinya, dan ahli ekonomi mereka, E. F. Schumacher mempopulerkan pemikiran ini dengan kalimat: small is beautifull. Manusia (SDM-HDI) menjadi tolok ukurnya.
Pemikiran semacam ini sangat berbeda dengan pemikiran (konsep) yang hendak menjadikan segalanya serba besar (megalomania). Padahal sebaik-baiknya ucapan manusia adalah “Allahu akbar” .Implementasi megalomania ini berupa pembentukan imperium/negara mahaluas, firaunisme, militerisme. Kini megalomania tersebut berubah bentuk menjadi konglomerasi/monopoli oleh merek-merek (industri) besar, hedonisme, selebritisme yang berakibat pada penjajahan manusia oleh manusia, perbudakan/prt, pelacuran, dan korupsi.
Pada abad ke 14 pernah dicoba dibangun kerajaan Pagarruyuang oleh Adityawarman tapi prakteknya tidaklah bisa berubah menjadi kerajaan/imperium besar seperti kerajaan-kerajaan di Jawa atau di daerah-daerah lainnya.
Selanjutnya pada permulaan abad ke 19 dilakukan pula penyatuan ideologi di nagari-nagari dengan menerapkan paham Wahabisme, maka akibatnya timbullah perang Paderi.
Belanda mengambil kesempatan ketika terjadi perang di nagari-nagari tersebut.
Kompromi dicapai melalui perdamaian budaya dengan memunculkan adagium peradaban:
Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Syarak nan batilanjang, adat nan basisampiang.
Syarak babuhua mati, adat babuhua sentak.
Syarak balinduang, adat bapaneh.
Syarak mangato, adat mamakai
Syarak mandaki, adat manurun
Syarak lazim, adat kawi.
Sesudah perang kemerdekaan, pemerintah Pusat (dibawah kepemimpinan rezim Soekarno) dengan konsep demokrasi terpimpinnya/kekuasaan yang otoriter telah menimbulkan reaksi keras pula di daerah ini berupa pergolakan daerah.
Pergolakan ini didukung oleh hampir seluruh elemen masyarakat/rakyat di nagari-nagari dan juga daerah lainnya di Indonesia. Padahal pembentukan negara/bangsa Indonesia pada mulanya dipelopori oleh para pemikir yang sebagian besar berasal dari daerah ini.
Inilah pengalaman berorganisasi orang minangkabau yang terekam di dalam budaya dan sejarahnya.
Asal kata “minangkabau” bisa ditelusuri secara kronologis serta peranan kerajaan Pagarruyung yang mempopulerkan ranah “Aie nan Janiah dan Kabau di Sawahliek” Berikut paparan konsep-konsep pemikiran yang mendasari asal kata Minangkabau :1. Hampir seluruh pangulu-pangulu (urang nan barasa) di luak nan Tigo serta di daerah rantau mengakui nenek-moyang mereka berasal atau turun dari Pariangan Padang Panjang di lereng gunung Merapi. Mungkin gunung Merapi adalah gunung tertinggi tampak dari segenap penjuru dan yang paling aktif di antara gunung lainnya di luak nan Tigo.
Umumnya setiap nagari memiliki cerita lisan turun-temurun yang mengisahkan perjalanan nenek moyang mereka dari Pariangan Padang Panjang menuju nagarinya.
2. Konsep bilangan binary (menggunakan gabungan antara dua lambang saja, yaitu 0 dan 1) dalam memahami kehidupan di dunia ini biasanya menjadi acuan dialektika budaya Minangkabau. Tak terkecuali ketika menamakan nagari-nagari dengan gabungan dua kata yang berbeda sifat nilainya. Demikian pula halnya menamakan gabungan semua nagari-nagari dengan menyebutnya sebagai minang kabau. Minang sifat nilainya adalah diutamakan kualitatif, sedangkan kabau sifat nilainya diutamakan kuantitatif.
3. Sebelum istilah HAM dipopulerkan oleh PBB, nenek moyang orang Minangkabau telah mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap nagari orang bebas berpikir, bebas berbahasa, bebas berpendapat sesuai dengan raso dibao naiak, pareso dibao turun maka demikian pula kebebasan ini mereka pakai pula untuk menamakan air.
Mereka menyadari air atau aia adalah segala-segalanya untuk kelangsungan hidup.
Tanpa air tiada kehidupan.
Di nagari Tanjuang-Sungayang dan nagari Sawah Liek-Singkayan, sumber air yang ke luar dari perut bumi disebut sebagai minang.
Di nagari Baringin (Tanah Datar) disebut sebagai kiambang dan pincuran-tujuah.
Di nagari Sungai Patai disebut talago.
Di nagari Tabek Patah disebut sebagai talago ( pakiah), aia (nangguak) dan aia (taganang).
Di Payokumbuah disebut batang (tabik).
Di Padang Panjang disebut lubuak (mato kuciang).
Di Lubuak Basuang disebut pincuran tujuah.
Di Sungai Janiah (Agam) disebut sebagai talago (sati).
Mata air yang lebih kecil disebut sebagai luak atau sumua.
Kata-kata air, sumur, lubuk, dan telaga telah masuk ke dalam KBBI.
Air artesis besar belum ada sebutannya di dalam KBBI dan kata minang pantas untuk dimasukkan ke dalam KBBI.
4. Sebelum munculnya kerajaan Pagarruyuang, di luak nan Tuo ada gabungan empat nagari binary yang mengakui satu keturunan (sejarah nagari Tanjuang 1951, 1954, 1975) yaitu nagari Tanjuang-Sungayang, nagari Andaleh-Baruahbukik, nagari Talago-Sungaipatai, nagari Sawahliek-Singkayan.
Permulaan perluasan ke empat nagari binary ini dari nagari Tanjuang. Empat nagari binary ini berbatasan langsung dengan nagari (pusat kerajaan) Pagarruyuang.
Asal kata minangkabau bisa ditelusuri secara kronologis serta peranan kerajaan tersebut yang mempopulerkannya.
5. Pada angka 3 di atas dijelaskan bahwa penduduk Nagari Tanjuang dan nagari Sawahliek menyebut sumber mata air bumi dengan sebutan yang sama yaitu “minang”.
<–foto air minang, kini dijadikan sumber air PAM.
Saat penduduk masih terkonsentrasi hidup bertani di nagari Tanjuang yang ada minangnya, orang belum membutuhkan kabau. Di Tanjuang terdapat banyak sungai sehingga tidak ada yang namanya “sawah liek” atau sawah yang tanahnya keras/liat (tak ada pengairan).
Kabau belum dibutuhkan manusia ketika itu. Dengan minang saja manusia bisa hidup layak sambil mengolah sawahnya yang tanahnya tidak liat.
6. Berbeda keadaannya di Nagari Sawahliek-Singkayan. Di sini ada minang (sumber air) tapi sungainya jauh di bawah. Pertanian di sawah yang tanahnya liat sangat membutuhkan kabau sebagai alat bantu. Untuk mengolah tanah tak bisa dengan mengandalkan tenaga pisik manusia saja.
Saat itulah muncul kesadaran anak nagari bahwa tanah (bumi) perlu diolah dengan menggunakan bantuan alat (toll) bantu berupa kerbau penarik bajak.
Pada hakekatnya bumi ini adalah sawah milik manusia yang tanahnya liat/keras. Maka populerlah ketika itu binatang kabau sebagai alat bantu yang bisa memajukan pertanian (peradaban). Kemudiaan nagari Sawahliek berubah sebutan menjadi nagari “minangkabau” hingga hari ini. Nagari ini beserta nagari bekas pasangan binarynya (Singkayan) berbatasan langsung dengan pusat kerajaaan Pagarruyuang.
7. Berkat jasa kerajaan Pagarruyuang (yang tidak menguasai secara pisik Nagari-Nagari di sekitarnya) menyebut daerah ini sebagai luak (air) atau minang kabau.
Kerajaan Pagarruyuang mempublikasikan ke mancanegara bahwa kekuasaannya berada di Luak atau di Minang kabau.
Anak-nagari di daerah ini, sebagaimana juga manusia lainnya di muka bumi ini selalu membutuhkan minang untuk hidup dan kabau sebagai alat bantu memajukan peradaban.
Ketika peradaban memasuki era industrialisasi, ternyata kabau telah berubah menjadi mesin-mesin atau benda-benda lainnya yang sangat dibutuhkan manusia di manapun dia berada.
Jadi pada hakekatnya seluruh umat manusia adalah minangkabau.
8. Metafora Minang agar dipahami dengan otak kiri, serta kabau dengan otak kanan.
9. Pada akhirnya, kebenaran asal muasal kata minang kabau semata mata kembali kepada Allah.
Wa allohu aklamu bish showab, dan yang benar hanya pada Allah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar