HIDUP adalah PERJUANGAN

SAATNYA GENERASI MUDA BERJUANG UNTUK KEMAJUAN BANGSA DAN NEGARA INDONESIA

Senin, 25 Oktober 2010

sejarah struktur masyarakat minangkabau


Sebagaima diketahui, bahwa masyarakat Minangkabau, bersifat homogenitas. Akan tetapi dalam Struktur kemasyakatannya, mereka berkelompok dalam lapisan, yang berawal dari keluarga inti dirumah gadang kemudian menjadi lapisan terluar yang disebut rantau . Uraian berikut, mengenai srtuktur masyarakat minangkabau diuraikan Oleh Drs, Syahrir As, dalam Buletin Sungai Pua No 46 – April 1994 dan disadur oleh sdr. Dewis Natra. Padusi turut memasukkan dalam blog ini sebagai wujud memasyarakatkan adat dan budaya minang. Semoga bermanfaat.
A. PARUIK :
Susunan masyarakat Minangkabau terkecil dinamakan “PARUIK”. Jika di Indonesiakan secara harfiah artinya “PERUT”. Yang dimaksud paruik disini adalah suatu keluarga besar atau famili, dimana semua anggotanya berasal dari satu perut.
Setiap anggota yang berasal dari satu perut itu dinamakan “saparuik”.
Seluruh anggota dari paruik itu dihitung menurut garis ibu, sedangkan para suami dari pada anggota tersebut tidaklah termasuk didalamnya. Menurut istilah minangkabau para suami itu disebut “urang sumando”. Urang sumando biasa juga dinamakan “urang datang”, karena ia dating dan sebagai pendatang dirumah istrinya. Memang begitulah perkawinan yang bersifat matrilineal, bukan istri yang tinggal dirumah suami, tetapi suami yang tinggal dirumah istri.
Kedudukan urang sumando di rumah, di ibaratkan sebagai “abu diateh tunggua” (Abu diatas tunggul), dengan kata lain ia tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Sekalipun tidak berkuasa, namun urang sumando paling dihormati ditengah rumah, disegani dan dimanjakan oleh segenap keluarga istrinya, dijaga hatinya supaya jangan tersinggung, ditanai “bak manantiang minyak panuah” (bagai menating minyak penuh). Inilah imbangannya sebagai suatu cara dalam membina rumah tangga yang harmonis. Pepatah mengatakan “rancak rumah di urang sumando, elok hukum dimamaknyo” (Semarak rumah di urang sumando, elok Hukum pada mamaknya), maksudnya keharmonisan dikeluarga besar itu tergantung kesanggupan si mamak sebagai pimpinan yang bertanggung jawab atas anak dan kemanakannya.Tiap-tiap paruik dipimpin oleh seorang penghulu yang dijabat oleh seorang laki-laki dari saudara ibu, dan dipilih oleh segenap anggota dari paruik itu sendiri.
B. JURAI :
Apabila anggota-anggota paruik telah bertambah banyak dan berkembang biak, maka paruik itu akan membelah diri menjadi unit-unit yang berdiri sendiri, unit-unit ini disebut “jurai” dan ada juga yang menyebutnya “toboh”. Ia merupakan suatu kesatuan keluarga kecil yang “sadapua” (sedapur). Pimpinannya dinamakan “mamak rumah” dan sering juga disebut “tungganai” Jabatan tungganai langsung langsung dipegang oleh seorang laki-laki yang tertua dari saudara-saudara ibu, jadi tidak melalui pemilihan. Semua anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga tersebut memanggil “mamak”, sebaliknya mamak sendiri menyebutnya “kamanakan”. Dari hubungan yang sedemikian timbullah satu tata tertib “bamamak bakamanakan”. Salah satu dari tertib itu adalah “kamanakan saparintah mamak” (kamanakan seperintah mamak). Pengertian perintah disini bukanlah kekuasaan tangan besi, tapi lebih bersifat tanggung jawab dan membimbng. Mamak mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap kemenakan-kemenakannya. Corak dan sifat dari pada hubungan bermamak kamanakan ini tersirat dalam fatwa adat sebagai berikut :
Kamanakan manyambah lahia.
Mamak manyambah bathin.
Kamanakan bapisau tajam.
Mamak badagiang taba.
Tagang bajelo-jelo
Kandua badantiang dantiang
Indonesianya :
Kemanakan menyembah lahir
Mamak menyembah bathin
Kemenakan berpisau tajam
Mamak berdaging tebal
Tegang berjela-jela
Kendur berdenting-denting.

C. KAMPUNG :

Kumpulan dari semua anggota yang berasal dari satu paruik sebagaimana dijelaskan diatas, ada yang dihimpun dalam sebuah “rumah gadang” (Rumah Besar), tetapi ada pula yang dihinpun didalam beberapa buah rumah yang berdekatan letaknya, himpunan inilah yang disebut “kampuang”. Dalam bahasa Minangkabau, kampuang sama artinya dengan kumpulan atau himpunan (dikampuangkan = dikumpulkan).
Tiap tiap kampung mempunyai pimpinan, yang mana tugasnya adalah untuk memimpin usaha-usaha bersama dengan tanggung jawab “ringan sajejenjeng, barek sapikua”(ringan sama dijinjing, berat sama di pikul). Pimpinan atau ketua dari perkampungan ini disebut “Tuo kampuang).
Jadi pengertian kampung adalah sekumpulan rumah yang anggotanya berasal dari satu paruik dan dipimpin oleh seorang tuo kampuang yang dipilih.
Hal ini jelas digambarkan dalam kata-kata adat :
Rumah nan sakumpulan
Nan sakampuang sahalaman
Nan salabuah satapian
Indonesianya :
Rumah yang sekumpulan
Yang sekampung sehalaman
Yang sejalan setepian
D. SUKU :
Perkembangan paruik menimbulkan jurai-jurai. Lama kelamaan juraipun berkembang biak pula, sehingga menjurus terbentuknya paruik-paruik baru. Kemudian paruik ini mendirikan kampuang-kampuang, adakalanya kampuang itu ada yang berjauhan letaknya disebabkan kesempitan ditanah asal. Sekalipun demikian hubungan antara kampuang-kampuang yang sudah banyak itu masih terikat kepada kampung asal. Perkembangan dari kampung kampung inilah yang kemudian menimbulkan suku-suku, yang dikenal dengan 4 suku asal yaitu : Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago.
Suku artinya kaki, yaitu kaki dari seekor hewan seperti kambing, sapi, kerbau dan sebagainya. Itulah asal mula pengertian suku di Minangkabau sekarang.
Perkembangan selanjutnya, suku dipahamkan sebagai satu kesatuan masyarakat, dimana setiak anggota merasa “badunsanak” (bersaudara) dan seketurunan, serta mempunyai pertalian darah menurut garis ibu, jadi mengandung pengertian genealogis. Setiap anggota yang mempunya suku yang sama dinamakan “sapasukuan” dan tidak boleh mengadakan hubungan perkawinan diantara mereka. Dengan demikian suku-suku diminangkabau adalah merupakan kesatuan exogam.
Bila ditinjau secara mendalam, dengan perkawinan ynag exogam itulah sebenarnya terletak kunci daripada keutuhan dan kerukunan suku-suku di Minangkabau.
Keutuhan dan kerukunan dilukiskan dalam pepatah berikut :
Suku nan indak dapek dianjak
Malu nan indak dapek dibagi
Kok tanah nan sabingkah alah bapunyo
Rumpuik sahalai alah bapunyo
Namun malu alun babagi.
Indonesianya :
Suku tidak dapat ditukar-tukar
Malu tidak dapat dibagi bagi
Walau tanah sebongkah sudah bermilik
Rumput sehelai sudah berpunya
Namun malu belum dibagi.
Tiap-tiap suku dipimpin oleh seorang “pangulu” dengan pangilan “Datuak” sebagai sebutan sehari-hari. Setiap suku mempunyai gelar pusaka tertentu, gelar juga tidak berbatas kepada pangulu tetapi setiap laki-laki yang sudah berumah tangga mempunyai gelar dengan peringkat “sutan” (Misalnya datuak Batuah = gelar seorang penghulu, Sutan Batuah = Gelar seorang laki-laki yang sudah menikah)
Istilah pangulu suku adakalanya disebut “pangulu andiko” dijabat oleh seorang laki-laki yang dipilih oleh segenap anggota keluarga dalam suku.
E. NAGARI
Berlainan dengan paruik, kampuang dan suku, maka nagari adalah merupakan suatu masyarakat hokum. Nagari adalah gabungan dari beberapa buah suku, minimal mempunyai 4 buah suku, jadi federasi genealogis. Menurut hokum adat (undang undang nagari), ada empat syarat untuk mendirikan sebuah nagari, yang pertama harus mempunyai sedikitnya 4 suku, kedua harus punya balairung untuk bersidang, ketiga sebuah mesjid untuk beribadah, ke empat sebuah tepian tempat mandi.
Setiap nagari mempunyai batas-batas tertentu yang ditetapkan atas dasar pemufakatan dengan para pangulu dan nagari-nagari bersebelahan. Batas-batas itu adakalanya ditentukan dengan batas-batas alam seperti sungai, sawah, tetapi ada juga yang diberi tanda yang dinamakan “lantak pasupadan”. Disamping itu nagari juga mempunyai pemerintahan sendiri oleh dewan kerapatan adat nagari yang anggotanya terditi dari pangulu andiko sebagai wakil paruik, maupun suku. Dengan demikian dapatlah dikatakan nagari pada hakekatnya adalah suatu pemerintahan berbentuk “republik otonom”.
Demikian secara garis besarnya tingkatan-tingkatan daripada susunan masyarakat Minangkabau, mulai dari jurai sampai Nagari.
Fatwa adat :
Rang gadih manggarek kuku
Pangarek pisau sirauik
Dikarek batuang tuonyo
Batuang tuo elok kalantai
Nagari bakaampek suku
Didalam suku babuah paruik
Kampuang dibari ba nan tuo
Rumah dibari batungganai.
Indonesianya :
Anak gadis memotong kuku
Pemotong pisau siraut
Dipotong bambu tuannya
Banbu tua bagus untuk lantai
Negeri yang empat suku
Dalam suku berbuah perut
Kampung diberi ketua
Rumah diberi tungganai.
F. KELARASAN
Dalam logat bahasa minang, perkataan laras disebut “lareh”, adapun arti laras ialah sebagai yang kita pakai sekarang ini juga, Selaras artinya seukuran atau seimbang, diselaraskan artinya dipersamakan”
Menurut pengertian adat, kelarasan berarti suatu system pemerintahan, yaitu suatu tata cara adat yang sudah turun temurun yang dikenal dengan nama “adat ketumanggungan” (Koto- Piliang) dan “adat perpatiah nan sabatang”(Bodi – Chaniago). Kedua system inilah yang dipakai para pengulu dalam mengatur dan menjalankan pemerintahan nagari diseluruh alam Minangkabau. Oleh Belanda kemudian kelarasan dijadikan suatu daerah administrative dengan jalan menyusun dan mengelompokkan nagari-nagari yang seadat selembaga (selaras), sehingga “lareh nan duo” (dua kelarasan) akhirnya menjelma menjadi banyak kelarasan, dengan tuangku lareh (lareh hoofd) sebagai kepalanya.
Menurut riwayat, timbulnya kelarasan di minangkabau adalah sebagai akibat dari perselisihan pendapat antara “Ninik nan Baduo” (ninik yang berdua), yaitu datuak Ketumanggungan dan Datuak Parapatiah nan sabatang. Perselisihan itu timbul ketika raja Adityawarman hendak memaksakan kemauannya untuk mendirikan kerajaan “Pagaruyung”. Rencana ini mendapat tantangan dari datuak Parapatiah nan sabatang.
Peretentangan ini dilukiskan dalam pepatah adat sebagai berikut.
Datanglah anggang dari lauik
Ditembak datuak nan baduo
Badia sadatak duo dantumnyo
Indonesianya :
Datanglah enggang dari laut
Ditembak datuk yang berdua
Bedil sedetak dua dentumnya.
Yang dimaksud “enggang dari laut” ialah kedatangan ekspedisi Adityawarman dengan melalui laut, “Ditembak datuk yang berdua” artinya diributkan oleh dua saudara Datuk katumangguangan dan Datuak Parapatiah nan sabatang, “Bedil sedetak dua dentumnya” maksudnya diantara kedua datuk tidak ada kata sepakat.
Menurut Datuk Katumanggunan, bentuk negara yang didirikan itu adalah kerajaan, segala kekuasaan berada ditangan raja, karena raja yang berdaulat. Di bawah raja hanya ada “Basa” (menteri) sebagai pembantu raja.
Tetapi Datuak Parapatiah Nan Sabatang menolak bentuk kerajaan yang berdaulat kepada seorang raja. Ia mempertahankan “adat lama pusaka usang”, yaitu beraja kepada mufakat, hanya kata mufakatlah yang berdaulat, dan mufakat itulah kata ganti Raja.
Akhirnya perbedaan pendapat itu memuncak menjadi suatu pertentangan yang sengit, dimana Datuak Katumanggungan tetap mempertahankan “kata pilihannya”(asal kata Koto-Piliang) yaitu system kerajaan. Begitu juga Datuak Parapatiah nan sabatang tidak mau beranjak dari pilihannya semula, ia tetap mempertahankan system kedaulatan rakyat atas dasar musyawarah dan mufakat, bagi dia “Budi yang berharga” (asal kata Bodi Chaniago), oleh karena itu pula dia tidak mau mengakui Adityawarman sebagai raja alam Minangkabau.
Kelarasan Koto Piliang adalah mewakili adat lembaga yang bersifat konservatif, lazimnya disebut adat beraja (adaik barajo-rajo).
Yang menjadi adat pusaka adalah :
Bajanjang naiak batanggo turun
Bapucuak bulek baurek tunggang
Batali buliah dihirik
Batampuak buliah dijinjiang
Indonesianya :
Berjenjang naik, bertangga turun
Berpucuk bulat berurat tunggang
Bertali boleh ditarik
Bertampuk boleh dijinjing
Dengan system adat datuak katumanggungan dijumpai adanya tingkatan-tingkatan penguasa sebagai pembantu raja (berjenjang naik bertangga turun). Juga sudah dikenal adanya pembagian kekuasaan. Ada tiga kekuasaan yang penting, yaitu dikenal dengan anma “Rajo nan tigo selo”, yang pertama “rajo di buo” (raja adat), kedua “Rajo disumpua kuduih” (Raja ibadat) dan yang ketiga “Rajo Pagaruyuang” (Rajo Alam) yang dijadikan daulat yang dipertuan dalam lareh koto piliang sebagai instansi tertinggi dalam membanding hukum. Dibawah rajo nan tigo selo ada lagi “Basa Ampek Balai”
Demikian juga system pemerintahan nagari, kedudukan pengulu juga bertingkat tingkat, ada “pengulu pucuak”, “pengulu suku” dan “pengulu andiko”
Berbeda dengan system adat Datuak Katumanggungan, maka menurut adat Parapatiah Nan Sabatang, pemerintahan nagari dijalankan secara kolektif oleh para pengulu andiko didalam suatu kerapatan nagari. Disini tidak dijumpai adanya tingkatan pengulu semua berandiko, “duduak samo randah tagak samo tinggi (duduk sama rendah berdiri sama tinggi). Salah seorang diantara mereka dipilih jadi ketua, biasanya orang yang sudah tua dalam usia dan pengalaman, sehingga dikatakan dalam pepatah :
Bajalan ba nan tuo
Balayia banangkodo
Indonesiannya :
Berjalam pakai pemimpin
Berlayar pakai Nakhoda
Didahulukan selangkah ditinggikan seranting
Pengertian berjenjang naik bertangga turun sepanjang adat Bodi Chaniago (Parapatiah Nan Sabatang) ialah :
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka pangulu
Pangulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka kabanaran
Menurut alur dan patut
Indonesianya :
Kemanakan beraja ke mamak
Mamak beraja ke pengulu
Pengulu beraja ke mufakat
Mufakat beraja ke kebenaran
Menurut alur dan patut.
Sebagai kesimpulan, ada dua macam raja menurut pandangan orang minangkabau, pertama “raja alam” yaitu sekata alam mendirikannya, kedua adalah raja yang berdiri sendirinya yaitu “Alua jo patuik (Alur dan Patut) yang bermakna “kebenaran” Inilah “Rajo nan sabana rajo” (raja yang sebenar raja).
G. LUHAK
Menurut tambo alam Minangkabau, luhak artinya lubuk. Pada masa dulu didaerah pariangan (kampung asal orang Minangkabau) terdapat tiga buah lubuk/sumur. Kemudian karena negeri sudah sempit, mereka berpencar keluar untuk mencari daerah baru. Daerah daerah baru yang ditempati tersebut diberinama sesuai dengan nama lubuak mereka masing, yaitu Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto.
Pembagian daerah Minangkabau atas tiga daerah grafis itu oleh Belanda dilanjutkan dengan mengunakan istilah “afdeling” dibawah pimpinan Assistant Residen yang oleh penduduk dinamakan “Tuan Luhak”.
H. RANTAU
Diluar daerah yang tiga luhak ini dinamakan “Rantau” meliputi daerah pesisir barat, juga termasuk daerah pesisir timur seperti Rokan, Siak, Kampar, Batang Hari dan Negeri sembilan di Malaysia Barat. Daerah rantau dipimpin oleh pangulu (Memakai adat Bodi Chaniago)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar