HIDUP adalah PERJUANGAN

SAATNYA GENERASI MUDA BERJUANG UNTUK KEMAJUAN BANGSA DAN NEGARA INDONESIA

Senin, 25 Oktober 2010

makalah sistem pemerintahan daerah


           BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pemerintah selaku pemegang kekuasaan eksekutif dibedakan dalam dua pengertian yuridis, yakni:
  1. Selaku alat kelengkapan negara yang bertindak untuk dan atas nama negara yang kekuasaannya melekat pada kedudukan seorang kepala negara.
  2. Selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas penyelenggaraan pemerintahan atau selaku administrator negara (pejabat atau badan atas usaha negara)

Pemerintahan adalah berkenaan dengan sistem, fungsi, cara, perbuatan, kegiatan, urusan, atau tindakan memerintah yang dilakukan atau diselenggarakan atau dilaksanakan oleh pemerintah. Eksekutif adalah cabang kekuasaan dalam negara yang melaksanakan kebijakan publik (kenegaraan dan atau pemerintahan) melalui peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun atas inisiatif sendiri.
Administrasi (negara) adalah badan atau jabatan dalam lapangan kekuasaan eksekutif yang mempunyai kekuasaan mandiri berdasarkan hukum untuk melakukan tindakan-tindakan, baik di lapangan pengaturan maupun penyelenggaraan administrasi (negara).
Berkaitan hubungan antara pemerintahan dan administrasi negara, maka didalam organisasi modern sebagaimana negara dan perangkatnya, Max Weber mengintroduksi terminologi birokrasi dengan mengatakan sebagai berikut: (Dahl, 1994: 13)
Pemerintah tidak lain adalah yang berhasil menopang klaim bahwa perintahlah yang secara eksklusif berhak menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan aturan-aturannya dalam suatu batas wilayah tertentu. Sedangkan dalam pelaksanaan organisasi pemerintahan dibentuk birokrasi.
Tugas pokok pemerintahan adalah pelayanan yang membuahkan kemandirian, pembangunan menciptakan kemakmuran. Sedangkan Birokrasi itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
  1. Birokrasi patrimonial yang berfungsi berdasarkan nilai-nilai tradisional yang tidak memisahkan antara tugas, wewenang, dan tanggung jawab dinas dengan urusan pribadi pejabat.
  2. Birokrasi modern (rasional) dicirikan dengan adanya spesialisasi, hukum, pemisahan tugas dinas dan urusan pribadi.

Lebih jauh berkaitan dengan birokrasi publik di Indonesia, Miftah Thoha (Miftah Thoha, 2000: 4-5) memberikan catatan tentang restrukturisasi dan reposisi birokrasi publik. Sekurangnya terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan, yaitu aspek penegakan demokrasi, aspek perubahan sistem politik, dan aspek perkembangan teknologi informasi.
  1. Aspek Penegakan Demokrasi: Prinsip demokrasi yang paling urgen adalah meletakkan kekuasaan pada rakyat dan bukan pada penguasa. Oleh karena itu struktur kelembagaan pemerintah yang disebut birokrasi tidak dapat lepas dari kontrol rakyat. Wujud kekuasaan dan peran rakyat ialah bahwa pada setiap penyusunan birokrasi harus berdasarkan undang-undang. Berdasarkan undang-undang, rakyat terlibat dalam mendesain dan menetapkan lembaga-lembaga pemerintahan atau birokrasi di pusat maupun di daerah.
  2. Aspek Perubahan Sistem Politik: Era reformasi saat ini sungguh menghadapi persoalan kondisi mental, sikap dan perilaku politik warisan rezim terdahulu terutama dalam kerangka single majority Golongan Karya. Pada masa orde baru semua posisi jabatan dalam organisasi publik ditempati oleh kader-kader Golkar. Oleh karena itu tidak dapat dibedakan manakah yang “birokrat tulen” dan manakah “birokrat partisan” Struktur organisasi publik berkembang antara pejabat birokrasi dan pejabat politik. Semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dan nonkarier, antara jabatan birokrasi dan jabatan politik.
  3. Aspek Perkembangan Teknologi Informasi: Kemajuan jaman dan perubahan global telah menjadikan cara kerja suatu birokrasi dengan menggunakan teknologi informasi. Cara demikian telah menciptakan “birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas” Berdasarkan kondisi demikian, maka tatanan organisasi akan berubah menjadi lebih pendek dan ramping. Sesuai dengan asas demokrasi, kewenangan birokrasi menjadi tidak hanya berada pada tataran penguasa melainkan tersebar dimana-mana (decentralized). Birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas telah menjadikan birokrasi tidak lagi secara tegas mengikuti garis hirarki. Struktur organisasi bersifat ad-hoc, komite, dan matrik akan menjadi model organisasi mendatang, yang sering disebut sebagai organisasi struktur logis (logical structure).

Menurut Max Weber (Dahl, 1994:13),
pemerintah tidak lain adalah yang berhasil menopang klaim bahwa perintahlah yang secara eksklusif berhak menggunakan kekuatan fisik untuk memaksakan aturan-aturannya dalam suatu batas wilayah tertentu. Sedangkan dalam pelaksanaan organisasi pemerintahan dibentuk birokrasi.
Sedangkan tugas pokok pemerintahan adalah pelayanan yang membuahkan kemandirian, pembangunan menciptakan kemakmuran
Pada suatu pemerintahan terdapat fungsi legislasi. Fungsi legislasi secara umum adalah fungsi untuk membuat peraturan perundang-undangan atau pembuatan kebijakan. Mengacu pada pengertian ini, kewenangan legislasi sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh parlemen (DPR/DPRD), tetapi juga oleh institusi-institusi lain seperti eksekutif serta yudikatif. Akan tetapi kajian modul ini hanya akan berfokus pada peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam proses penyusunan Peraturan Daerah (Perda).
Sesuai dengan UU nomor 22 tahun 2003 (tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), DPRD merupakan sebuah lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah provinsi/kabupaten/kota. Dalam UU nomor 32 tahun 2004 (tentang Pemerintahan Daerah) menyebutkan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah. Sebagai sebuah lembaga pemerintahan di daerah atau unsur penyelenggara pemerintahan di daerah, DPRD mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Untuk fungsi legislasi sendiri, terdapat beberapa peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaan fungsi ini, antara lain:
  1. Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  2. Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD

Fungsi legislasi dari DPRD adalah bersama-sama dengan Kepala Daerah membuat dan menetapkan Perda, yang berfungsi sebagai:
  1. Perda sebagai arah pembangunan
Sebagai kebijakan publik tertinggi di daerah, Perda harus menjadi acuan seluruh kebijakan publik yang dibuat termasuk didalamnya sebagai acuan daerah dalam menyusun program pembangunan daerah. Contoh konkritnya adalah Perda tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) atau Rencana Strategik Daerah (RENSTRADA).
  1. Perda sebagai Arah Pemerintahan di Daerah
Sesuai dengan Tap MPR Nomor XI tahun 1998 serta UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, maka ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik (good governance). Dalam penerapan asas tersebut untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersih dan bebas dari KKN, maka asas-asas tersebut merupakan acuan dalam penyusunan Perda sebagai peraturan pelaksanaannya di daerah.
Fungsi penganggaran merupakan salah satu fungsi DPRD yang diwujudkan dengan menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) bersama-sama pemerintah daerah. Dalam melaksanakan fungsi penganggaran tersebut DPRD harus terlibat secara aktif, proaktif, bukan reaktif, dan bukan hanya sebagai lembaga legitimasi usulan APBD yang diajukan pemerintah daerah.
Fungsi penganggaran memegang peranan yang sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, karena APBD yang dihasilkan oleh fungsi penganggaran DPRD memiliki fungsi sebagai berikut:
  1. APBD sebagai fungsi kebijakan fiskal
Sebagai cerminan kebijakan fiskal, APBD memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu:
    1. Fungsi alokasi
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa APBD harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran, mengurangi pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. APBD harus dialokasikan sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan.
    1. Fungsi distribusi
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan APBD harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Jika fungsi distribusi APBD berjalan dengan baik, maka APBD dapat mengurangi ketimpangan dan kesenjangan dalam berbagai hal.
    1. Fungsi stabilisasi
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa APBD merupakan alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
  1. APBD sebagai fungsi investasi daerah
Dalam pandangan manajemen keuangan daerah, APBD merupakan rencana investasi daerah yang dapat meningkatkan daya saing daerah dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, APBD harus disusun sebaik mungkin agar dapat menghasilkan efek ganda (multiplier effect) bagi peningkatan daya saing daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkesinambungan.
  1. APBD sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah
Sebagai fungsi manajemen pemerintahan daerah, APBD mempunyai fungsi sebagai pedoman kerja, alat pengendalian (control), dan alat ukur kinerja bagi pemerintah daerah. Dengan kata lain, dipandang dari sudut fungsi manajemen pemerintah daerah, APBD memiliki fungsi perencanaan, otorisasi, dan pengawasan. Dalam penjelasan PP Nomor 58/2005, fungsi perencanaan, otorisasi, dan pengawasan didefinisikan sebagai berikut:
    1. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
    2. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
    3. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Uraian di atas memberikan gambaran jelas bahwa fungsi penganggaran memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan daerah. Selain itu, fungsi penganggaran yang baik mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pengawasan adalah mutlak diperlukan, sebab pengawasan merupakan salah satu kegiatan dalam rangka upaya pencegahan. Jadi norma pengawasan harus benar-benar diatur secara rinci, sistematis, dan jelas, baik menyangkut instansi/pajabat pangawas, obyek pengawasan, prosedur (tata cara), koordinasi, persyaratan, dan akibat pengawasan.
Pengawasan terhadap kegiatan usaha ini sekurang-kurangnya meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu:
  1. Pemantauan penaatan (compliance monitoring).
  2. Pengamatan dan pemantauan lapangan.
  3. Evaluasi.

Paling tidak ada empat faktor yang menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi daerah menurut Bagir Manan (2002) yaitu hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan pengawasan dan hubungan yang timbul dari susunan organisasi pemerintahan di daerah. Dikaitan dengan topik kajian ini yang, maka uraian berikut akan lebih menitik beratkan pada hal-hal yang berkaitan dengan pengawasan.
Hubungan kewenangan, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila:
Pertama, urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara tertentu pula.
Kedua, sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
 Ketiga, sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan sepihak oleh Pusat, sehingga dapat menimbulkan pengaruh pada keuangan daerah.
UU Nomor 22 Tahun 1999 sangat mengendorkan sistem pengawasan. Dalam Penjelasan Umum angka 10 menyatakan:
“… sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberi kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah.”
Karena itu peraturan daerah yang ditetapkan daerah otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang. Meniadakan syarat pengesahan (preventief toezicht) dapat menimbulkan masalah hukum yang rumit

B.Keuangan Daerah

Keuangan daerah merupakan bagian integral dari keuangan negara dalam pengalokasian sumber-sumber ekonomi, pemerataan hasil-hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi guna stabilitas sosial politik. Peranan keuangan daerah menjadi semakin penting karena adanya keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa subsidi dan bantuan. Selain itu juga karena semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah yang pemecahannya membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat di daerah. Peranan keuangan daerah akan dapat meningkatkan kesiapan daerah untuk mendorong terwujudnya otonomi daerah yang lebih nyata dan bertanggungjawab.
Mamesah (1995: 16) mengemukakan bahwa keuangan negara ialah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Kekayaan daerah ini sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi, serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku.
Pemerintah daerah sebagai sebuah institusi publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan sumber dana atau modal untuk dapat membiayai pengeluaran pemerintah tersebut (goverment expenditure) terhadap barang-barang publik (public goods) dan jasa pelayanan. Tugas ini berkaitan erat dengan kebijakan anggaran pemerintah yang meliputi penerimaan dan pengeluaran.
Pemerintah dalam melaksanakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab memerlukan dana yang cukup dan terus meningkat sesuai dengan meningkatnya tuntutan masyarakat, kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Dana tersebut diperoleh melalui kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai sumber pembiayaan. Oleh karena itu, keuangan daerah merupakan tolak ukur bagi penentuan kapasitas dalam menyelenggarakan tugas-tugas otonomi, di samping tolak ukur lain seperti kemampuan sumber daya alam, kondisi demografi, potensi daerah, serta partisipasi masyarakat.
Tujuan utama pengelolaan keuangan daerah, yaitu (1) tanggung jawab, (2) memenuhi kewajiban keuangan, (3) kejujuran, (4) hasil guna, dan (5) pengendalian (Binder, 1984: 279). Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah saat ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut (Mardiasmo, 2000: 3) :
  1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal tersebut tidak hanya terlihat dari besarnya pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat dari besarnya partisipasi masyarakat (DPRD) dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan daerah.
  2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
  3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran serta dari partisipasi yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekda dan perangkat daerah lainnya.
  4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas.
  5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, Kepala Daerah, dan PNS, baik rasio maupun dasar pertimbangannya.
  6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan.
  7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang-barang daerah yang lebih profesional.
  8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, serta transparansi informasi anggaran kepada publik.
  9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
  10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi, sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudah mendapatkan informasi.

 

 

 

 

 

 

                                                             BAB II

                                                 OTONOMI DAERAH

 

A.Arti Otonomi Daerah

                     Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu outus yang berarti sendiri dan nomos berarti undang-undang. Menurut perkembangan sejarah pemerintahan di Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundang-undangan juga mengandung arti pemerintahan atau perundang-undangan sendiri (Pamudji, 1982: 45).
Sesuai dengan Pasal 1 butir (h) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri atau aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan itu, maka kepada daerah diberikan wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.
Untuk pemerintah Propinsi hanya diberikan otonomi terbatas yang meliputi kewenangan lintas kabupaten dan kota. Selain itu, kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh daerah kabupaten atau kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya (Pasal 9 ayat 1 dan 2 UU No. 32 Tahun 2004).
Hal tersebut menunjukkan bahwa otonomi daerah merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Ini berguna untuk peningkatan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Untuk dapat mencapainya, maka titik berat otonomi diletakkan di daerah kabupaten dan daerah kota dengan pertimbangan bahwa daerah kabupaten atau kota langsung berhubungan dengan masyarakat.
Menurut Utomo (2000), seluruh khasanah politik dan pemerintahan di Indonesia, termasuk manajemem pemerintahan daerah, membicarakan mengenai otonomi, desentralisasi atau demokrasi lokal yang harus menitik beratkan adanya kewenangan. Dengan kewenangan yang dimiliki, akan memotivasi daerah untuk menumbuhkan inisiatif dan kreativitas tidak saja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tetapi juga untuk tercapainya kemandirian daerah.
Meskipun tidak dapat ditolak bahwa penyelenggaraan manajemen pemerintahan daerah diperlukan adanya keuangan yang cukup memadai. Hal ini dapat terjadi suatu polemik “apa artinya kewenangan apabila tidak ada uang atau sebaliknya apa artinya memiliki uang kalau tidak memiliki kewenangan”.
Kewenangan menjadi central issues dalam pelaksanaan otonomi karena untuk mengembalikan kekuasaan dari tangan penguasa kepada kedaulatan rakyat. Di samping itu, untuk menumbuhkan kemandirian dan pemberdayaan daerah dan masyarakat daerah. Selama beberapa tahun yang lalu, kewenangan belum pernah dirasakan dan dipegang oleh daerah, sehingga tidaklah mengherankan apabila di era reformasi sering terjadi adanya euphoria yang berlebihan ataupun juga defence mechanism yang terlalu ketat padahal kewenangan belum secara nyata dilimpahkan.
Pada prinsipnya, hakekat otonomi daerah ialah mempunyai sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakannya untuk melaksanakan tugas otonomi, serta mempunyai anggaran belanja yang ditetapkan sendiri. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, ada tiga faktor yang menentukan, yaitu perangkat, personalia, dan pembiayaan atau pendanaan daerah

B.Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah

                Agar dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang menitik beratkan pada Daerah sesuai dengan tujuannya, seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah mempunyai prinsip sebagai berikut:
    1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah.
    2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
    3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan kota, sedangkan untuk propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
    4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah.
    5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada bagi wilayah administrasi.
    6. Pelaksanaanh otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
    7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administratif untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.

Berdasarkan prinsip tersebut di atas, maka dapat diartikan bahwa peranan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah cukup besar. Terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat, akan tetapi masih tetap dalam kerangka memperkokoh negara kesatuan sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Prinsip-prinsip tersebut perlu dipahami oleh setiap aparatur pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan pemerintah pusat sebagai perumus kebijaksanaan.

C.Keberhasilan Otonomi Daerah

                 Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Syamsi (1986: 199) menegaskan beberapa ukuran sebagai berikut:
    1. Kemampuan struktural organisasi
Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah dan ragam unit cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas.
    1. Kemampuan aparatur pemerintah daerah
Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.
    1. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki kemauan untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan.
    1. Kemampuan keuangan daerah
Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud pelaksanaan, pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber dana antara lain berasal dari PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah pusat.
Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat dilihat dari beberapa hal yang mempengaruhi (Kaho, 1998), yaitu faktor manusia, faktor keuangan, faktor peralatan, serta faktor organisasi dan manajerial. Pertama, manusia adalah faktor yang esensial dalam penyelenggaraan pemerintah daerah karena merupakan subyek dalam setiap aktivitas pemerintahan, serta sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Kedua, keuangan yang merupakan bahasan pada lingkup penulisan ini sebagai faktor penting dalam melihat derajat kemandirian suatu daerah otonom untuk dapat mengukur, mengurus dan membiayai urusan rumah tangganya. Ketiga, peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar kegiatan pemerintah daerah. Keempat, untuk melaksanakan otonomi daerah dengan baik maka diperlukan organisasi dan pola manajemen yang baik.
Kaho (1998) menegaskan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi daerah ialah manusia sebagai pelaksana yang baik. Manusia ialah faktor yang paling esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Agar mekanisme pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka manusia atau subyek harus baik pula. Atau dengan kata lain, mekanisme pemerintahan baik daerah maupun pusat hanya dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan apabila manusia sebagai subyek sudah baik pula.
Selanjutnya, faktor yang kedua ialah kemampuan keuangan daerah yang dapat mendukung pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Mamesah mengutip pendapat Manulang (1995: 23) yang menyebutkan bahwa dalam kehidupan suatu negara, masalah keuangan negara sangat penting. Semakin baik keuangan suatu negara, maka semakin stabil pula kedudukan pemerintah dalam negara tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan negara buruk, maka pemerintah akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam menyelenggarakan segala kewajiban yang telah diberikan kepadanya.
Faktor ketiga ialah anggaran, sebagai alat utama pada pengendalian keuangan daerah, sehingga rencana anggaran yang dihadapkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus tepat dalam bentuk dan susunannya. Anggaran berisi rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan ke muka yang bijaksana, karena itu untuk menciptakan pemerintah daerah yang baik untuk melaksanakan otonomi daerah, maka mutlak diperlukan anggaran yang baik pula.
Faktor peralatan yang cukup dan memadai, yaitu setiap alat yang dapat digunakan untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Peralatan yang baik akan mempengaruhi kegiatan pemerintah daerah untuk mencapai tujuannya, seperti alat-alat kantor, transportasi, alat komunikasi dan lain-lain. Namun demikian, peralatan yang memadai tersebut tergantung pula pada kondisi keuangan yang dimiliki daerah, serta kecakapan dari aparat yang menggunakannya.
Faktor organisasi dan manajemen baik, yaitu organisasi yang tergambar dalam struktur organisasi yang jelas berupa susunan satuan organisasi beserta pejabat, tugas dan wewenang, serta hubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Manajemen merupakan proses manusia yang menggerakkan tindakan dalam usaha kerjasama, sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Mengenai arti penting dari manajemen terhadap penciptaan suatu pemerintahan yang baik, mamesah (1995 : 34) mengatakan bahwa baik atau tidaknya manajemen pemerintah daerah tergantung dari pimpinan daerah yang bersangkutan, khususnya tergantung kepada Kepala Daerah yang bertindak sebagai manajer daerah.

                                               

 

 

 

                                                             BAB III

                                                           PENUTUP

            Reformasi di segala bidang yang di dukung oleh masyarakat dalam mensikapi permasalahan yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah menyebabkan  lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi.

      Indonesia memasuki Era Otonomi Daerah dengan diterapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (kamudian menjadi  UU No.32 Tahun 2004) tentang  Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 (kemudian menjadi UU No.33 Tahun 2004 ) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

      Dalam UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa otonomi daerah  menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan  mengurus  dan mengatur  semua urusan  pemerintahan  di luar urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dilaksanakan pula dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah  suatu prinsip  yang menegaskan bahwa urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan  tugas, wewenang dan kewajiban  yang senyatanya telah ada dan berpotensi  untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud dengan  otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud  pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan  rakyat sebagai bagian utama dari tujuan nasional.

      Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu  memerhatikan kepentingan  kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat (1) menciptakan  efisinesi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah, (2) meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, (3) membudayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisifasi dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002).

      Dalam otonomi daerah, pimpinan daerah memegang  peran sangat srategis dalam mengelola dan memajukan daerah yang dipimpinnya. Perencanaan strategis sangat vital, karena disanalah akan terlihat dengan jelas peran kepala daerah dalam mengoordinasikan  semua unit kerjanya. Betapapun besarnya potensi suatu daerah, tidak akan optimal pemanfaatannya  bila bupati/walikota tidak mengetahui bagaimana mengelolanya. Sebaliknya, meskipun potensi suatu daerah kurang,  tetapi dengan strategis yang tepat untuk memanfaatkan bantuan dari pusat dalam memberdayakan daerahnya, maka akan semakin meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang ada. Seagaimana dijelaskan dalam pasal 156 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Untuk itulah, perlu kecakapan yang tinggi bagi pimpinan daerah agar pengelolaan  dan terutama  alokasi dari keuangan daerah dilakukan secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah.

      Otonomi daerah harus diikuti dengan serangkaian reformasi sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tersebut tidak sekadar perubahan format  lembaga, akan tetapi menyangkut pembaruan alat-alat yang digunakan  untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif transparan, dan akuntabel sesuai dengan cita-cita reformasi yaitu menciptakan good governace benar-benar tercapai.

      Untuk mewujudkan good governace diperlukan reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan  seluruh alat-alat pemerintahan  di daerah, baik  struktur maupun infrastrukturnya. Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan digunakan model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, misalnya new public management yang berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorinentasi pada kebijakan. Penggunaan  paradigma new public management tersebut menimbulkan  beberapa konsekuensi bagi pemerintah. di antaranya perubahan pendekatan dalam  dalam penganggaran, yakni dari penganggaran  tradisional (traditional budget) menjadi penganggaran berbasis kinerja (performance budget), tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetensi tender (compulsory competitive tendering contract).

      Sejalan dengan perlunya dilakukan reformasi sektor publik, diawal periode otonomi  daerah, telah keluar sejumlah peraturan pemerintah (PP)  sebagai operasionalisasi  dari Undang-undang Otonomi daerah. Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan daerah selama ini menjadi salah satu penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan  keuangan negara. Dalam upaya menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan  sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan  (sustainable)  sesuai dengan aturan pokok  yang telah ditetapkan  dalam undang-undang dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara.

      Adapun kekuasaan pengelolaan keuangan daerah menurut   pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003 merupakan bagian  dari kekuasaan pengelolaan keuangan negara. Dalam hal ini presiden selaku kepala pemerintahan memegang  kekuasaan pengelolaan  keuangan  negara sebagai  bagian dari kekuasaan  pemerintahan, kemudian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah  dan mewakili pemerintah daerah dalam  kepemilikan kekayaan  daerah yang dipisahkan. Selanjutnya, kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan  oleh masing-masing kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD dan dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku  pejabat pengguna anggaran/barang daerah.

      Pengelolaan keuangan daerah harus Transparansi yang mulai dari proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan anggaran daerah. Selain itu, Akuntabilitas dalam pertanggungjawaban publik juga diperlukan, dalam artii  bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan  masyarakat. Kemudian, Value for money yang berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas.

      Dengan adanya penerapan prinsip-prinsip tersebut, maka akan menghasilkan  pengelolaan keuangan daerah (yang tertuang dalam APBD)  yang benar-benar mencerminkan  kepentingan  dan pengharapan masyarakat daerah setempat secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sehingga nantinya akan melahirkan kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.

terjadinya istilah minangkabau

Tulisan akan memaparkan munculnya kesadaran “Orang” bahwa pada hakekatnya bumi ini adalah sawah yang tanahnya liat/keras dan memerlukan “Kerbau” sebagai alat bantu untuk mengolahnya serta “Minang” sebagai sumber kehidupan “Manusia”.
ini gambar peta 4  nagari binary
Keterangan gambar :
Empat nagari binary yang bertetangga dengan kerajaan/nagari Pagaruyuang. Sebelum kedatangan penjajah Belanda, keempat nagari ini berkelompok secara adat. Setelah perang Padri berakhir, Belanda menyatukannya dengan sebutan kelarasan Tanjuang.
Mn = Lokasi keberadaan minang, sumber aie nan janieh (mata air hexagonal).  Empat nagari binary yang bertetangga dengan kerajaan/nagari Pagarruyuang
1 = Nagari Tanjuang-Sungayang
2 = Nagari Talago-Sungaipatai
3 = Nagari Andaleh-Baruahbukik
4 = Nagari Sawahliek-Singkayan —> nagari inilah kemudian yang berganti nama menjadi Minangkabau
5 = Nagari Pagarruyuang
6 = Nagari Suruaso
7 = Nagari Kototangah
8 = Nagari Tanjuangbarulak
Luhak nan Tuo terentang di antara gunung Merapi, gunung Singgalang dan gunung Sago.  Di lembah-lembah sempit di antara ketiga kaki gunung tersebut, manusia membangun komunitas-komunitas untuk memajukan peradabannya.
Dengan topografi semacam ini, maka banyak ditemui mata-air yang ke luar langsung dari perut bumi, dan selanjutnya air itu mengalir ke hulu-hulu sungai yang umumnya bermuara ke timur pulau Sumatera.
Komunitas-komunitas asli ini (menurut tambo asalnya dari benua Ruhum, keturunan Iskandar Zulkarnain) menamai teritori mereka dengan sebutan nagari. Kata nagari juga dipakai di India, Jawa dan di tempat lainnya.
Setiap nagari telah terorganisasi dengan baik untuk memenuhi kebutuhan anak-nagarinya (warga negara) masing-masing. Ibarat negara-negara kecil, maka setiap nagari adalah republik merdeka yang tidak diperintah oleh kekuasaan luar, bersifat demokratis dan saling menjaga hubungan baik di antara sesama (Cupak salingka batuang, pusako salingka kaum, adat/peraturan salingkuang nagari).
Tanah dan air di suatu nagari adalah suci dengan sebutan “tanah tumpah darah”, tidak boleh dimiliki orang asing/diperjual-belikan. Orang asing dimungkinkan berdomisili di suatu nagari asalkan mau malakok (menempel) atau menjadi kamanakan dari “urang nan barasa”.
Anggota masyarakat dikelompokkan berdasarkan geneologis kaum dan suku. Umumnya di setiap nagari terdapat lk. 20 sampai lk. 30 orang yang bergelar datuak.  Setiap kaum dipimpin oleh datuaknya masing-masing, yang biasanya memiliki gelar kebesaran dan bersifat turun-temurun.
Dari sebutan gelar datuak, tergambar kebesaran/harga diri dari kaum itu sendiri, misal: Datuak Maharajo Dirajo, Datuak Manjinjiang Alam, Datuak Paduko nan Bagalang Kaki Ameh dsb. Setingi-tinggi/ sebesar-besarnya raja di Minangkabau, dia hanyalah berkuasa terhadap lingkungan kaumnya saja! Atau duduak samo randah, tagak samo tinggi.
Melihat jumlah pangulu-pangulu asli yang bergelar datuak di suatu nagari, maka diperkirakan dahulunya suatu organisasi negara orang-orang Minangkabau jumlahnya hanya untuk mengatur sekitar 500 sampai 3000 orang.
Suatu nagari tak pernah menaklukkan nagari lainnya guna merebut tanah atau untuk meminta upeti kepada mereka.
Kualitas kehidupan kamanakan (di Jawa disebut kawula atau rakyat) di suatu nagari lebih diutamakan daripada kuantitas (jumlah). Di jaman moderen, pemikiran semacam ini diaplikasikan berupa pendidikan/program keluarga berencana (berkualitas), penghormatan kepada individu (HAM), kepemimpinan masyarakat/negara yang tidak-sentralistik (demokrasi), peningkatan kualitas SDM (kesehatan-pendidikan). Kini orang Barat baru menyadarinya, dan ahli ekonomi mereka, E. F. Schumacher mempopulerkan pemikiran ini dengan kalimat: small is beautifull. Manusia (SDM-HDI) menjadi tolok ukurnya.
Pemikiran semacam ini sangat berbeda dengan pemikiran (konsep) yang hendak menjadikan segalanya serba besar (megalomania). Padahal sebaik-baiknya ucapan manusia adalah “Allahu akbar” .Implementasi megalomania ini berupa pembentukan imperium/negara mahaluas, firaunisme, militerisme. Kini megalomania tersebut berubah bentuk menjadi konglomerasi/monopoli oleh merek-merek (industri) besar, hedonisme, selebritisme yang berakibat pada penjajahan manusia oleh manusia, perbudakan/prt, pelacuran, dan korupsi.
Pada abad ke 14 pernah dicoba dibangun kerajaan Pagarruyuang oleh Adityawarman tapi prakteknya tidaklah bisa berubah menjadi kerajaan/imperium besar seperti kerajaan-kerajaan di Jawa atau di daerah-daerah lainnya.
Selanjutnya pada permulaan abad ke 19 dilakukan pula penyatuan ideologi di nagari-nagari dengan menerapkan paham Wahabisme, maka akibatnya timbullah perang Paderi.
Belanda mengambil kesempatan ketika terjadi perang di nagari-nagari tersebut.
Kompromi dicapai melalui perdamaian budaya dengan memunculkan adagium peradaban:
Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Syarak nan batilanjang, adat nan basisampiang.
Syarak babuhua mati, adat babuhua sentak.
Syarak balinduang, adat bapaneh.
Syarak mangato, adat mamakai
Syarak mandaki, adat manurun
Syarak lazim, adat kawi.

Sesudah perang kemerdekaan, pemerintah Pusat (dibawah kepemimpinan rezim Soekarno) dengan konsep demokrasi terpimpinnya/kekuasaan yang otoriter telah menimbulkan reaksi keras pula di daerah ini berupa pergolakan daerah.
Pergolakan ini didukung oleh hampir seluruh elemen masyarakat/rakyat di nagari-nagari dan juga daerah lainnya di Indonesia. Padahal pembentukan negara/bangsa Indonesia pada mulanya dipelopori oleh para pemikir yang sebagian besar berasal dari daerah ini.
Inilah pengalaman berorganisasi orang minangkabau yang terekam di dalam budaya dan sejarahnya.
Asal kata “minangkabau” bisa ditelusuri secara kronologis serta peranan kerajaan Pagarruyung yang mempopulerkan ranah “Aie nan Janiah dan Kabau di Sawahliek”
Berikut paparan konsep-konsep pemikiran yang mendasari asal kata Minangkabau :
1.  Hampir seluruh pangulu-pangulu (urang nan barasa) di luak nan Tigo serta di daerah rantau mengakui nenek-moyang mereka berasal atau turun dari Pariangan Padang Panjang di lereng gunung Merapi. Mungkin gunung Merapi adalah gunung tertinggi tampak dari segenap penjuru dan yang paling aktif di antara gunung lainnya di luak nan Tigo.
Umumnya setiap nagari memiliki cerita lisan turun-temurun yang mengisahkan perjalanan nenek moyang mereka dari Pariangan Padang Panjang menuju nagarinya.
2.  Konsep bilangan binary (menggunakan gabungan antara dua lambang saja, yaitu 0 dan 1) dalam memahami kehidupan di dunia ini biasanya menjadi acuan dialektika budaya Minangkabau. Tak terkecuali ketika menamakan nagari-nagari dengan gabungan dua kata yang berbeda sifat nilainya. Demikian pula halnya menamakan gabungan semua nagari-nagari dengan menyebutnya sebagai minang kabau. Minang sifat nilainya adalah diutamakan kualitatif, sedangkan kabau sifat nilainya diutamakan kuantitatif.
3. Sebelum istilah HAM dipopulerkan oleh PBB, nenek moyang orang Minangkabau telah mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap nagari orang bebas berpikir, bebas berbahasa, bebas berpendapat sesuai dengan raso dibao naiak, pareso dibao turun maka demikian pula kebebasan ini mereka pakai pula untuk menamakan air.
Mereka menyadari air atau aia adalah segala-segalanya untuk kelangsungan hidup.
Tanpa air tiada kehidupan.
Di nagari Tanjuang-Sungayang dan nagari Sawah Liek-Singkayan, sumber air yang ke luar dari perut bumi disebut sebagai minang.
Di nagari Baringin (Tanah Datar) disebut sebagai kiambang dan pincuran-tujuah.
Di nagari Sungai Patai disebut talago.
Di nagari Tabek Patah disebut sebagai talago ( pakiah), aia (nangguak) dan aia (taganang).
Di Payokumbuah disebut batang (tabik).
Di Padang Panjang disebut lubuak (mato kuciang).
Di Lubuak Basuang disebut pincuran tujuah.
Di Sungai Janiah (Agam) disebut sebagai talago (sati).
Mata air yang lebih kecil disebut sebagai luak atau sumua.
Kata-kata air, sumur, lubuk, dan telaga telah masuk ke dalam KBBI.
Air artesis besar belum ada sebutannya di dalam KBBI dan kata minang pantas untuk dimasukkan ke dalam KBBI.
4.   Sebelum munculnya kerajaan Pagarruyuang, di luak nan Tuo ada gabungan empat nagari binary yang mengakui satu keturunan (sejarah nagari Tanjuang 1951, 1954, 1975) yaitu nagari Tanjuang-Sungayang, nagari Andaleh-Baruahbukik, nagari Talago-Sungaipatai, nagari Sawahliek-Singkayan.
Permulaan perluasan ke empat nagari binary ini dari nagari Tanjuang. Empat nagari binary ini berbatasan langsung dengan nagari (pusat kerajaan) Pagarruyuang.
Asal kata minangkabau bisa ditelusuri secara kronologis serta peranan kerajaan tersebut yang mempopulerkannya.
5.   Pada angka 3 di atas dijelaskan bahwa penduduk Nagari Tanjuang dan nagari Sawahliek menyebut sumber mata air bumi dengan sebutan yang sama yaitu “minang”.
<–foto air minang, kini dijadikan sumber air PAM.
Saat penduduk masih terkonsentrasi hidup bertani di nagari Tanjuang yang ada minangnya, orang belum membutuhkan kabau. Di Tanjuang terdapat banyak sungai sehingga tidak ada yang namanya “sawah liek” atau sawah yang tanahnya keras/liat (tak ada pengairan).
Kabau belum dibutuhkan manusia ketika itu. Dengan minang saja manusia bisa hidup layak sambil mengolah sawahnya yang tanahnya tidak liat.
6.   Berbeda keadaannya di Nagari Sawahliek-Singkayan. Di sini ada minang (sumber air) tapi sungainya jauh di bawah. Pertanian di sawah yang tanahnya liat sangat membutuhkan kabau sebagai alat bantu. Untuk mengolah tanah tak bisa dengan mengandalkan tenaga pisik manusia saja.

Saat itulah muncul kesadaran anak nagari bahwa tanah (bumi) perlu diolah dengan  menggunakan bantuan alat (toll) bantu berupa kerbau penarik bajak.
Pada hakekatnya bumi ini adalah sawah milik manusia yang tanahnya liat/keras. Maka populerlah ketika itu binatang kabau sebagai alat bantu yang bisa memajukan pertanian (peradaban).  Kemudiaan nagari Sawahliek berubah sebutan menjadi nagari “minangkabau” hingga hari ini. Nagari ini beserta nagari bekas pasangan binarynya (Singkayan) berbatasan langsung dengan pusat kerajaaan Pagarruyuang.
7.  Berkat jasa kerajaan Pagarruyuang (yang tidak menguasai secara pisik Nagari-Nagari di sekitarnya) menyebut daerah ini sebagai luak (air) atau minang kabau.
Kerajaan Pagarruyuang mempublikasikan ke mancanegara bahwa kekuasaannya berada di Luak atau di Minang kabau.
Anak-nagari di daerah ini, sebagaimana juga manusia lainnya di muka bumi ini selalu membutuhkan minang untuk hidup dan kabau sebagai alat bantu memajukan peradaban.
Ketika peradaban memasuki era industrialisasi, ternyata kabau telah berubah menjadi mesin-mesin atau benda-benda lainnya yang sangat dibutuhkan manusia di manapun dia berada.
Jadi pada hakekatnya seluruh umat manusia adalah minangkabau.
8.  Metafora Minang agar dipahami dengan otak kiri, serta kabau dengan otak kanan.
9.  Pada akhirnya, kebenaran asal muasal kata minang kabau semata mata kembali kepada Allah.
Wa allohu aklamu bish showab, dan yang benar hanya pada Allah.

sejarah mandeh kandung

Pengantar  oleh : Hifni. H. Nizhamul

Benar atau tidaknya kisah ini, tidak begitu penting. Cerita dari mulut ke mulut menghasilkan ” KABA”. Dalam  dialektika Minangkaba, maka  si Tukang Kaba, akan mengisahkan sesuatu apa yang ia ketahui – ia dengar dan kemudian ia pahami. Kemduian  Kisah  di nukilkan dalam bahasa serta kiasan yang tinggi.
Bertitik tolah dari perangkat hukum adat, yang menempatkan kaum wanita dimuliakan secara adat, maka Bundokanduang selalu menjadi tokoh dalam suatu peristiwa. Bundokanduang  menjadi figur dan di identifikasi sebagai pilar dan tiang utama dalam sistem sosial kemasayarakatan.
Dari berbagai versi tentang bundokanduang, baik dari Pagaruyung maupun dari Lunang, dapat kita simpulkan bahwa Bundokanduang itu ada disetiap ka Nagarian atau wilayah Minangkabau. Jika ada seorang wanita yang memiliki keunggulan – kharismatik – dimuliakan secara adat dalam satu kekerabatan atau didalam suatu trah tertentu, maka Bundokanduang itu tetap akan hidup  sebagai simbol dan orang yang berpengaruh sebagai kharisma wanita minangkabau.

Bundokanduang :
Pada serangkaian cerita Cinduamato, tersebutlah nama Bundo Kandung sebagai ibu dari Dang Tuangku. Akan halnya Bundo Kanduang yang seiring disebut ujud seorang perempuan dalam kerajaan Minangkabau. Barangkali ini merupakan sebuah ungkapan terhormat kepada seorang wanita.
Seperti tersebut dalam kisah Cindurmato, suatu kali cucu Raja Mauliwarman Dewa, datang ke Luhak nan Tuo, Tanah Datar. Mereka adalah tiga kakak beradik, yang tua Kambang Daro Marani (14 tahun), Indo dewa ( 12 tahun) dan yang bungsu Kambang Daro Bandari (10 tahun). Kunjungan mereka ini, disertai para dubalang dan inang pengasuh yang seluruhnya berjumlah 45 orang. Salah seorang yang terkenal dalam rombangan ini adalah Andiko Panjang Gombak (45 tahun), yang bertugas sebagai kepala rombongan dan sekaligus pengawal setia tiga kakak beradik tadi.
Melihat indahnya alam, bersahabatnya masyarakat, maka timbullah hasrat dari tiga kakak beradik ini, untuk menetap di ranah bundo. Keinginan itu disampaikan oleh Andiko Panjang Gombak di dalam pertemuan Limbago Alam di Balai Adat Datuak Bandaro Sungai Tarab. Pertemuan ini membawa arti penting terhadap gerak langkah perjalanan sejarah Minangkabau selanjutnya.
Musyawarah Limbago Alam yang dihadiri, oleh seluruh anggota perwakilannya di Sungai Tarab ini membuahkan tiga butir mufakat, yaitu:
Petama. Basa Tigo Balai dikembangkan menjadi Basa Ampek Balai terdiri dari, Datuak Bandaro dari Sungai Tarab sebagai Payung Panji Koto Piliang, Datuak Indomo dari Saru Aso sebagai Amban Purut Koto Piliang , Tuan Gadang dari Bhakti Sapuluah sebagai Harimau Campo Koto Piliang, dan Datuak Makhudum dari Sumaniak sebagai Pasak Kunci Koto Piliang.
Kedua. Limbago Alam menunjuk Andiko Panjang Gombak sebagai ketua kehormatannya.
Ketiga. Kambang Daro Marani, Indodewa dan Kambang Daro Bandari, sebagai anak kemanakan Limbago Alam, akan dibangunkan sebuah rumah gadang di Gudam Kambang Bungo (Pagaruyung).
Hasil mufakat Limbago Alam ini, disampaikan pula kepada Majilih Kerapatan Adat Alam Minangkabau pada pertemuannya di Medan Taduah Bukit Gombak. Semua anggota perwakilan Majilih menyetujui dan merestui keputusan Limbago Alam tersebut.
Setehun setelah tiga kakak beradik itu tinggal di Luak nan Tuo, rumah gadang atau istano yang dibangun di ranah Kambang Bungo, telah berdiri dengan megahnya. Seluruh bahan bangunannya, adalah sumbangan masyarakat Luhak nan Tigo. Di halamannya berderet pula tiga rangkiang dengan anggun. Perlengkapan rumah gadang seperti lapik baludu, kelambu suto, cawan dan pinggan, cibuk dan bermacam perhiasan mas dan intan dihadiahkan oleh dangsanak belahan diri yang bermukim di pesisir dan rantau.
Tujuh tahun kemudian, Andiko Panjang Gombak mendapat kecaman dari bebagai lapisan masyarakat Minangkabau. Saat itu Kambang Daro Marani yang sedang menginjak umur 21 tahun, dinikahi oleh Andiko Panajang Gombak secara diam-diam tanpa diumumkan secara adat kepada kalayak ramai. Sewaktu Kambang Daro Marani hamil tiga bulan, masyarakat melalui limbago-limbago adatnya menuduh Andiko melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang melanggar adat.
Andiko membela diri. Dia mengatakan pernikahannya dilakukan di Bhakti Sapuluah, di istano Tuan Gadang secara resmi. Limbago adat tetap pada pendirian mereka: Andiko dianggap bersalah karena melakukan pernikahan tidak bersuluh matahari dan bergelanggang mata orang banyak, sebagaimana ditetapkan oleh adat. Sebelum hukuman dijatuhkan, Andiko menebus kesalahanya di lapangan Bukit Gombak dengan memotong sepuluh ekor kerbau untuk menjamu perwakilan Limbago Adat dan seluruh anak nagari yang berkenan hadir.
Pada saat itu secara tulus Andiko mengakui, bahwa dia telah berbuat sumbang karena melanggar aturan adat. Selanjutnya bersamaan dengan penyesalan Andiko, masyarakat Minangkabau pun memberikan maaf dengan tulus pula. Hasil pernikahan ini kemudian melahirkan Romandung yang bergelar Dang Tuanku.
Akan tetapi, empat belas bulan kemudian, Andiko Panjang Gombak kembali melakukan kesalahan yang sama. Dia secara diam-diam juga menikahi Kambang Daro Bandari, adik kandung Kambang Daro Marani. Limabago Adat dan rakyat kembali marah besar kepada Andiko. Panjang Gombak dinilai tidak lagi bertingkah laku sesuai alur dan patut. Pada masa itu, di Minangkabau sekalipun belum diliputi agama Islam, masyarakat sangat menentang jika seorang laki-laki mengawini dua perempuan kakak beradik yang masih sama-sama hidup. Masyarakat tidak lagi melihat Andiko Panjang Gombak sebagai seorang yang berpijak di bumi Ranah Minang, karena itu dia harus dibuang sepanjang adat.
Andiko kembali membela diri. Dia menjelaskan, bahwa perbuatannya tersebut disokong oleh Kambang Daro Marani demi melanjutkan keturunan di istano Pagaruyung. Dan Andiko juga meyakinkan bahwa apa yang dia lakukan sudah seizin tetua adat di Darmasraya.
Akhirnya, Andiko kembali mengsisi adat. Kali ini di istano Pagaruyung jamuan makan seperti dulu dilangsungkan. Limbago Adat pun kembali memaafkan Andiko dengan perinsip: Salah kepda manusia minta maaf, salah kepada adat mengisinya. Akan tetapi, sehari setelah upacara adat itu selesai Indodewa, yang satu-satunya laki-laki dari tiga bersaudara, meninggalkan Pagaruyung menuju Darmasraya dan bersumpah tidak akan pernah kembali lagi. Namun, sebagaimana diceritakan, dari pernikahan inilah lahirnya Cidurmoto.
Setelah sama-sama melahirkan anak dari Andiko Panjang Gombak, Kambang Daro Marani berubah nama jadi Bundo Kanduang dan Kambang Daro Bandari jadi Bundo Kambang.
Lebih kurang 23 tahun kemudian, perang pun berkecamuk antara pasukan Imbang Jayo dari Sungai Ngiyang –sebuah kerajaan kecil di Selatan Minangkabau, dengan tentara Pagaruyung. Pertikaian yang tak kunjung berkesudahan ini, dipicu oleh api cemburu yang selalu membakar hati Imbang Jayo yang gagal mempersunting Puti Bungsu, tersebab gadis itu dilarikan oleh Cindurmato anak Raja Pagaruyung.
Ayah dari Imbang Jayo yang bernama Raja Tiang Bungkuk dari Kerajaan Sungai Ngiyang, juga mendukung dendam si anak. Pagaruyung pun akhirnya menuai badai.
Sesaat perang kelihatan seperti reda. Tibalah masanya, empat anggota Basa Ampek Balai, berlima dengan Tuan Gadang di Batipuah, duduk bersila di bagian tengah ruangan balairung, istano Pagaruyunag. Bundo Kanduang dan Bundo Kambang telah duduk pula bersimpuh dilantai anjung ujung utara. Di kiri kanan mereka duduk bersila Romandung dan Cindurmato. Cindurmato baru saja kembali dari Inderapura dua hari sebelumnya. Bersama Cindurmato ikut empat lusin pemuda Inderapura.
Dalam pertemuan itu, sembah kata belum kunjung bersilang. Mereka masih diam sambil menikmati sekapur sirih yang terkunyak dimulut masing-masing. Adanya pancaran haru dan kentaranya silang-siur kerut-merut di wajah Bundokanduang, membuat hati anggota Basa Ampek Balai ikut terenyuh. Tambah lagi sikap Bundo Kambang, Romandung dan Cindurmato yang muram, tidak seperti biasa, telah membuat suasana balairung itu bertambah suram.
Saat itu kepada Basa Ampek Balai, Bundo Kanduang mengatakan, bahwa dia akan pergi jauh dari Pagaruyung. Bila kelak rakyat Minangkabau mempertanyakan kemana mereka pergi, maka katakanlah, bahwa mereka suduah mengirap ke langit.
Mande Rubiah
Tersebut dalam satu versi sejarah, bahwa melihat gelagat Adityawarman yang ingin memerintah secara otoriter di Minangkabau, maka keluarga Raja Pagaryung memprotesnya secara keras.
Bentuk protes ini, adalah dengan mengirab (pindah total) dari daerah asal menuju sebuah persembunyian. Dalam versi sejarah ini, masyarakat Nagari Lunang, Pesisir Selatan, mengatakan, bahwa keluarga raja yang mengirab itu, adalah keluarga Mande Rubiah yang kini mempunyai istana khusus di daerah itu.
Pembenaran ke arah ini, diperkuat dengan beberapa bentuk peninggalan bersejarah. Seperti adanya benda-benda kerajaan yang tersimpan rapi di rumah Mande Rubiah hingga kini. Selain benda pusaka dari piring cawan hingga senjata perang itu, juga terdapat di sekitar rumah Mande Rubiah, perkuburan tua. Pada perkuburan itu konon, dimakamkan Bundo Kanduang dan anaknya Dang Tuangku beserta istrinya Puti Bungsu. Selain itu disekitar rumah Mande Rubiah juga terdapat, kuburan Cindua Mato, yang dikenal dalam legenda Minang sebagai seorang parewa yang ahli siasat perang.
Mungkin nama Dang Tuangku dan Cindua Mato serta Puti Bungsu tidak pernah ada dalam silsilah keturunan Raja Pagaruyung, seperti diakui oleh salah seorang pewaris Kerajaan Pagaruyung, Putri Reno Raudha Taib. Akan tetapi pembenaran yang dipakai versi ini, niat semula dari serumpun keluarga ini untuk mengirab, yaitu untuk menghilangkan sekalian jejak, supaya kemana mereka pergi tidak diketahui oleh Adityawarman orang yang tidak mereka sukai.
Dilihat dari kubur Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato dan Puti Bungsu yang ada di nagari Lunang, itu semuanya seperti kuburan orang Islam, membujur ke utara dan selatan menandakan menghadap kiblat.
Keadaan ini juga bisa dihubungkan dengan kebencian sekelompok keluarga kerajaan ini kepada Adityawarman karena mereka tidak seagama. Sebab dalam sejarah dikatakan, adityawarman adalah penganut Budha Mahayana, orang yang suka dengan kekerasan.
Perhitungan Tahun
Akan tetapi dalam sejarah dan Tambo Adat Minangkabau, disebutkan. Adityawarman berada di Pagaruyung sekitar 1339-1376. Anaknya, Ananggawarman yang masih beragama Budha memerintah (1376). Setelah itu barulah Sultan Bakilap Alam menjadi Raja Pagaruyung, sampai pada Sutan Usman, 1943 selaku (Kepala Kaum Keluarga Raja Pagaruyung).
Jika dilihat pula keterangan yang disampaikan oleh Barkat, seorang keluarga Mande Rubiah, hingga kini keberadaan Mande Rubiah di Lunang, baru keturunan ke tujuh. Jika keturunan keluarga ini berumu masing-masing 50 tahun, maka perhitungannya baru sampai pada tahun 1600-an. Dalam hal ini jelas ada perhitungan sejarah yang tercecer.
“Untuk menghimpun sejarah Minangkabau yang penuh dengan makna, ini jelas tugas bersama untuk mempertautkannya. Sebab, sejarah suatu bangsa bukanlah terletak pada pundak satu angkatan saja, tetapi terletak di setiap pundak angkatan yang datang silih berganti dan bertukar tiap sebentar. Tugas kita semualah untuk mencarinya,” kata Abdul Hamid, salah seorang pemuka adat dari Nagari Pariangan selaku nagari tertua di Minangkabau.
Akan halnya Mande Rubiah, kalaulah bukan karena dibuka jalan lintas Sumbar Bengkulu dan transmigrasi di Lunang, maka tabir sejarah Rumah Gadang Mande Rubiah tidak akan ditemukan. Salah satu bukti sejarah yang ada hubungannya dengan Pagaruyung itu baru diketahui masyarakat secara luas, baru pada tahun 1960-an. Sebelumnya, boleh dikatakan hanya masyarakat Nagari Lunang dan sekitarnya saja yang tahu kalau yang menghuni rumah gadang itu adalah keturunan Bundo Kanduang..
Siapa Bundo Kanduang kenapa dia sampai ke Lunang? Inilah sebuah pertanyaan yang hingga sekarang belum mendapat jawaban yang memuaskan sebagai acuan bagi generasi berikutnya.
Jika memang Bundo Kanduang itu identik dengan Mande Rubiah yang ada di Lunang ini kita harus membuktikan apa yang diwarisinya sekarang, apakah berasal dari Pagaruyung atau ada kesamaan dengan Pagaruyung. Semua itu masih perlu pembuktian.

sejarah struktur masyarakat minangkabau


Sebagaima diketahui, bahwa masyarakat Minangkabau, bersifat homogenitas. Akan tetapi dalam Struktur kemasyakatannya, mereka berkelompok dalam lapisan, yang berawal dari keluarga inti dirumah gadang kemudian menjadi lapisan terluar yang disebut rantau . Uraian berikut, mengenai srtuktur masyarakat minangkabau diuraikan Oleh Drs, Syahrir As, dalam Buletin Sungai Pua No 46 – April 1994 dan disadur oleh sdr. Dewis Natra. Padusi turut memasukkan dalam blog ini sebagai wujud memasyarakatkan adat dan budaya minang. Semoga bermanfaat.
A. PARUIK :
Susunan masyarakat Minangkabau terkecil dinamakan “PARUIK”. Jika di Indonesiakan secara harfiah artinya “PERUT”. Yang dimaksud paruik disini adalah suatu keluarga besar atau famili, dimana semua anggotanya berasal dari satu perut.
Setiap anggota yang berasal dari satu perut itu dinamakan “saparuik”.
Seluruh anggota dari paruik itu dihitung menurut garis ibu, sedangkan para suami dari pada anggota tersebut tidaklah termasuk didalamnya. Menurut istilah minangkabau para suami itu disebut “urang sumando”. Urang sumando biasa juga dinamakan “urang datang”, karena ia dating dan sebagai pendatang dirumah istrinya. Memang begitulah perkawinan yang bersifat matrilineal, bukan istri yang tinggal dirumah suami, tetapi suami yang tinggal dirumah istri.
Kedudukan urang sumando di rumah, di ibaratkan sebagai “abu diateh tunggua” (Abu diatas tunggul), dengan kata lain ia tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Sekalipun tidak berkuasa, namun urang sumando paling dihormati ditengah rumah, disegani dan dimanjakan oleh segenap keluarga istrinya, dijaga hatinya supaya jangan tersinggung, ditanai “bak manantiang minyak panuah” (bagai menating minyak penuh). Inilah imbangannya sebagai suatu cara dalam membina rumah tangga yang harmonis. Pepatah mengatakan “rancak rumah di urang sumando, elok hukum dimamaknyo” (Semarak rumah di urang sumando, elok Hukum pada mamaknya), maksudnya keharmonisan dikeluarga besar itu tergantung kesanggupan si mamak sebagai pimpinan yang bertanggung jawab atas anak dan kemanakannya.Tiap-tiap paruik dipimpin oleh seorang penghulu yang dijabat oleh seorang laki-laki dari saudara ibu, dan dipilih oleh segenap anggota dari paruik itu sendiri.
B. JURAI :
Apabila anggota-anggota paruik telah bertambah banyak dan berkembang biak, maka paruik itu akan membelah diri menjadi unit-unit yang berdiri sendiri, unit-unit ini disebut “jurai” dan ada juga yang menyebutnya “toboh”. Ia merupakan suatu kesatuan keluarga kecil yang “sadapua” (sedapur). Pimpinannya dinamakan “mamak rumah” dan sering juga disebut “tungganai” Jabatan tungganai langsung langsung dipegang oleh seorang laki-laki yang tertua dari saudara-saudara ibu, jadi tidak melalui pemilihan. Semua anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga tersebut memanggil “mamak”, sebaliknya mamak sendiri menyebutnya “kamanakan”. Dari hubungan yang sedemikian timbullah satu tata tertib “bamamak bakamanakan”. Salah satu dari tertib itu adalah “kamanakan saparintah mamak” (kamanakan seperintah mamak). Pengertian perintah disini bukanlah kekuasaan tangan besi, tapi lebih bersifat tanggung jawab dan membimbng. Mamak mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap kemenakan-kemenakannya. Corak dan sifat dari pada hubungan bermamak kamanakan ini tersirat dalam fatwa adat sebagai berikut :
Kamanakan manyambah lahia.
Mamak manyambah bathin.
Kamanakan bapisau tajam.
Mamak badagiang taba.
Tagang bajelo-jelo
Kandua badantiang dantiang
Indonesianya :
Kemanakan menyembah lahir
Mamak menyembah bathin
Kemenakan berpisau tajam
Mamak berdaging tebal
Tegang berjela-jela
Kendur berdenting-denting.

C. KAMPUNG :

Kumpulan dari semua anggota yang berasal dari satu paruik sebagaimana dijelaskan diatas, ada yang dihimpun dalam sebuah “rumah gadang” (Rumah Besar), tetapi ada pula yang dihinpun didalam beberapa buah rumah yang berdekatan letaknya, himpunan inilah yang disebut “kampuang”. Dalam bahasa Minangkabau, kampuang sama artinya dengan kumpulan atau himpunan (dikampuangkan = dikumpulkan).
Tiap tiap kampung mempunyai pimpinan, yang mana tugasnya adalah untuk memimpin usaha-usaha bersama dengan tanggung jawab “ringan sajejenjeng, barek sapikua”(ringan sama dijinjing, berat sama di pikul). Pimpinan atau ketua dari perkampungan ini disebut “Tuo kampuang).
Jadi pengertian kampung adalah sekumpulan rumah yang anggotanya berasal dari satu paruik dan dipimpin oleh seorang tuo kampuang yang dipilih.
Hal ini jelas digambarkan dalam kata-kata adat :
Rumah nan sakumpulan
Nan sakampuang sahalaman
Nan salabuah satapian
Indonesianya :
Rumah yang sekumpulan
Yang sekampung sehalaman
Yang sejalan setepian
D. SUKU :
Perkembangan paruik menimbulkan jurai-jurai. Lama kelamaan juraipun berkembang biak pula, sehingga menjurus terbentuknya paruik-paruik baru. Kemudian paruik ini mendirikan kampuang-kampuang, adakalanya kampuang itu ada yang berjauhan letaknya disebabkan kesempitan ditanah asal. Sekalipun demikian hubungan antara kampuang-kampuang yang sudah banyak itu masih terikat kepada kampung asal. Perkembangan dari kampung kampung inilah yang kemudian menimbulkan suku-suku, yang dikenal dengan 4 suku asal yaitu : Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago.
Suku artinya kaki, yaitu kaki dari seekor hewan seperti kambing, sapi, kerbau dan sebagainya. Itulah asal mula pengertian suku di Minangkabau sekarang.
Perkembangan selanjutnya, suku dipahamkan sebagai satu kesatuan masyarakat, dimana setiak anggota merasa “badunsanak” (bersaudara) dan seketurunan, serta mempunyai pertalian darah menurut garis ibu, jadi mengandung pengertian genealogis. Setiap anggota yang mempunya suku yang sama dinamakan “sapasukuan” dan tidak boleh mengadakan hubungan perkawinan diantara mereka. Dengan demikian suku-suku diminangkabau adalah merupakan kesatuan exogam.
Bila ditinjau secara mendalam, dengan perkawinan ynag exogam itulah sebenarnya terletak kunci daripada keutuhan dan kerukunan suku-suku di Minangkabau.
Keutuhan dan kerukunan dilukiskan dalam pepatah berikut :
Suku nan indak dapek dianjak
Malu nan indak dapek dibagi
Kok tanah nan sabingkah alah bapunyo
Rumpuik sahalai alah bapunyo
Namun malu alun babagi.
Indonesianya :
Suku tidak dapat ditukar-tukar
Malu tidak dapat dibagi bagi
Walau tanah sebongkah sudah bermilik
Rumput sehelai sudah berpunya
Namun malu belum dibagi.
Tiap-tiap suku dipimpin oleh seorang “pangulu” dengan pangilan “Datuak” sebagai sebutan sehari-hari. Setiap suku mempunyai gelar pusaka tertentu, gelar juga tidak berbatas kepada pangulu tetapi setiap laki-laki yang sudah berumah tangga mempunyai gelar dengan peringkat “sutan” (Misalnya datuak Batuah = gelar seorang penghulu, Sutan Batuah = Gelar seorang laki-laki yang sudah menikah)
Istilah pangulu suku adakalanya disebut “pangulu andiko” dijabat oleh seorang laki-laki yang dipilih oleh segenap anggota keluarga dalam suku.
E. NAGARI
Berlainan dengan paruik, kampuang dan suku, maka nagari adalah merupakan suatu masyarakat hokum. Nagari adalah gabungan dari beberapa buah suku, minimal mempunyai 4 buah suku, jadi federasi genealogis. Menurut hokum adat (undang undang nagari), ada empat syarat untuk mendirikan sebuah nagari, yang pertama harus mempunyai sedikitnya 4 suku, kedua harus punya balairung untuk bersidang, ketiga sebuah mesjid untuk beribadah, ke empat sebuah tepian tempat mandi.
Setiap nagari mempunyai batas-batas tertentu yang ditetapkan atas dasar pemufakatan dengan para pangulu dan nagari-nagari bersebelahan. Batas-batas itu adakalanya ditentukan dengan batas-batas alam seperti sungai, sawah, tetapi ada juga yang diberi tanda yang dinamakan “lantak pasupadan”. Disamping itu nagari juga mempunyai pemerintahan sendiri oleh dewan kerapatan adat nagari yang anggotanya terditi dari pangulu andiko sebagai wakil paruik, maupun suku. Dengan demikian dapatlah dikatakan nagari pada hakekatnya adalah suatu pemerintahan berbentuk “republik otonom”.
Demikian secara garis besarnya tingkatan-tingkatan daripada susunan masyarakat Minangkabau, mulai dari jurai sampai Nagari.
Fatwa adat :
Rang gadih manggarek kuku
Pangarek pisau sirauik
Dikarek batuang tuonyo
Batuang tuo elok kalantai
Nagari bakaampek suku
Didalam suku babuah paruik
Kampuang dibari ba nan tuo
Rumah dibari batungganai.
Indonesianya :
Anak gadis memotong kuku
Pemotong pisau siraut
Dipotong bambu tuannya
Banbu tua bagus untuk lantai
Negeri yang empat suku
Dalam suku berbuah perut
Kampung diberi ketua
Rumah diberi tungganai.
F. KELARASAN
Dalam logat bahasa minang, perkataan laras disebut “lareh”, adapun arti laras ialah sebagai yang kita pakai sekarang ini juga, Selaras artinya seukuran atau seimbang, diselaraskan artinya dipersamakan”
Menurut pengertian adat, kelarasan berarti suatu system pemerintahan, yaitu suatu tata cara adat yang sudah turun temurun yang dikenal dengan nama “adat ketumanggungan” (Koto- Piliang) dan “adat perpatiah nan sabatang”(Bodi – Chaniago). Kedua system inilah yang dipakai para pengulu dalam mengatur dan menjalankan pemerintahan nagari diseluruh alam Minangkabau. Oleh Belanda kemudian kelarasan dijadikan suatu daerah administrative dengan jalan menyusun dan mengelompokkan nagari-nagari yang seadat selembaga (selaras), sehingga “lareh nan duo” (dua kelarasan) akhirnya menjelma menjadi banyak kelarasan, dengan tuangku lareh (lareh hoofd) sebagai kepalanya.
Menurut riwayat, timbulnya kelarasan di minangkabau adalah sebagai akibat dari perselisihan pendapat antara “Ninik nan Baduo” (ninik yang berdua), yaitu datuak Ketumanggungan dan Datuak Parapatiah nan sabatang. Perselisihan itu timbul ketika raja Adityawarman hendak memaksakan kemauannya untuk mendirikan kerajaan “Pagaruyung”. Rencana ini mendapat tantangan dari datuak Parapatiah nan sabatang.
Peretentangan ini dilukiskan dalam pepatah adat sebagai berikut.
Datanglah anggang dari lauik
Ditembak datuak nan baduo
Badia sadatak duo dantumnyo
Indonesianya :
Datanglah enggang dari laut
Ditembak datuk yang berdua
Bedil sedetak dua dentumnya.
Yang dimaksud “enggang dari laut” ialah kedatangan ekspedisi Adityawarman dengan melalui laut, “Ditembak datuk yang berdua” artinya diributkan oleh dua saudara Datuk katumangguangan dan Datuak Parapatiah nan sabatang, “Bedil sedetak dua dentumnya” maksudnya diantara kedua datuk tidak ada kata sepakat.
Menurut Datuk Katumanggunan, bentuk negara yang didirikan itu adalah kerajaan, segala kekuasaan berada ditangan raja, karena raja yang berdaulat. Di bawah raja hanya ada “Basa” (menteri) sebagai pembantu raja.
Tetapi Datuak Parapatiah Nan Sabatang menolak bentuk kerajaan yang berdaulat kepada seorang raja. Ia mempertahankan “adat lama pusaka usang”, yaitu beraja kepada mufakat, hanya kata mufakatlah yang berdaulat, dan mufakat itulah kata ganti Raja.
Akhirnya perbedaan pendapat itu memuncak menjadi suatu pertentangan yang sengit, dimana Datuak Katumanggungan tetap mempertahankan “kata pilihannya”(asal kata Koto-Piliang) yaitu system kerajaan. Begitu juga Datuak Parapatiah nan sabatang tidak mau beranjak dari pilihannya semula, ia tetap mempertahankan system kedaulatan rakyat atas dasar musyawarah dan mufakat, bagi dia “Budi yang berharga” (asal kata Bodi Chaniago), oleh karena itu pula dia tidak mau mengakui Adityawarman sebagai raja alam Minangkabau.
Kelarasan Koto Piliang adalah mewakili adat lembaga yang bersifat konservatif, lazimnya disebut adat beraja (adaik barajo-rajo).
Yang menjadi adat pusaka adalah :
Bajanjang naiak batanggo turun
Bapucuak bulek baurek tunggang
Batali buliah dihirik
Batampuak buliah dijinjiang
Indonesianya :
Berjenjang naik, bertangga turun
Berpucuk bulat berurat tunggang
Bertali boleh ditarik
Bertampuk boleh dijinjing
Dengan system adat datuak katumanggungan dijumpai adanya tingkatan-tingkatan penguasa sebagai pembantu raja (berjenjang naik bertangga turun). Juga sudah dikenal adanya pembagian kekuasaan. Ada tiga kekuasaan yang penting, yaitu dikenal dengan anma “Rajo nan tigo selo”, yang pertama “rajo di buo” (raja adat), kedua “Rajo disumpua kuduih” (Raja ibadat) dan yang ketiga “Rajo Pagaruyuang” (Rajo Alam) yang dijadikan daulat yang dipertuan dalam lareh koto piliang sebagai instansi tertinggi dalam membanding hukum. Dibawah rajo nan tigo selo ada lagi “Basa Ampek Balai”
Demikian juga system pemerintahan nagari, kedudukan pengulu juga bertingkat tingkat, ada “pengulu pucuak”, “pengulu suku” dan “pengulu andiko”
Berbeda dengan system adat Datuak Katumanggungan, maka menurut adat Parapatiah Nan Sabatang, pemerintahan nagari dijalankan secara kolektif oleh para pengulu andiko didalam suatu kerapatan nagari. Disini tidak dijumpai adanya tingkatan pengulu semua berandiko, “duduak samo randah tagak samo tinggi (duduk sama rendah berdiri sama tinggi). Salah seorang diantara mereka dipilih jadi ketua, biasanya orang yang sudah tua dalam usia dan pengalaman, sehingga dikatakan dalam pepatah :
Bajalan ba nan tuo
Balayia banangkodo
Indonesiannya :
Berjalam pakai pemimpin
Berlayar pakai Nakhoda
Didahulukan selangkah ditinggikan seranting
Pengertian berjenjang naik bertangga turun sepanjang adat Bodi Chaniago (Parapatiah Nan Sabatang) ialah :
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka pangulu
Pangulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka kabanaran
Menurut alur dan patut
Indonesianya :
Kemanakan beraja ke mamak
Mamak beraja ke pengulu
Pengulu beraja ke mufakat
Mufakat beraja ke kebenaran
Menurut alur dan patut.
Sebagai kesimpulan, ada dua macam raja menurut pandangan orang minangkabau, pertama “raja alam” yaitu sekata alam mendirikannya, kedua adalah raja yang berdiri sendirinya yaitu “Alua jo patuik (Alur dan Patut) yang bermakna “kebenaran” Inilah “Rajo nan sabana rajo” (raja yang sebenar raja).
G. LUHAK
Menurut tambo alam Minangkabau, luhak artinya lubuk. Pada masa dulu didaerah pariangan (kampung asal orang Minangkabau) terdapat tiga buah lubuk/sumur. Kemudian karena negeri sudah sempit, mereka berpencar keluar untuk mencari daerah baru. Daerah daerah baru yang ditempati tersebut diberinama sesuai dengan nama lubuak mereka masing, yaitu Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto.
Pembagian daerah Minangkabau atas tiga daerah grafis itu oleh Belanda dilanjutkan dengan mengunakan istilah “afdeling” dibawah pimpinan Assistant Residen yang oleh penduduk dinamakan “Tuan Luhak”.
H. RANTAU
Diluar daerah yang tiga luhak ini dinamakan “Rantau” meliputi daerah pesisir barat, juga termasuk daerah pesisir timur seperti Rokan, Siak, Kampar, Batang Hari dan Negeri sembilan di Malaysia Barat. Daerah rantau dipimpin oleh pangulu (Memakai adat Bodi Chaniago)