HIDUP adalah PERJUANGAN

SAATNYA GENERASI MUDA BERJUANG UNTUK KEMAJUAN BANGSA DAN NEGARA INDONESIA

Minggu, 24 Oktober 2010

birokrasi indonesia

Usai keruntuhan rezim neofasis-militer Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Besar TNI (Purnawirawan) Soeharto pada Mei 1998, Indonesia menderita kebangkrutan ekonomi, dekadensi moral, kebuntuan kebudayaan, gelombang konflik sosial, dan sekian persoalan lain yang hingga kini belum terjawab. Pada Era Reformasi, demikian banyak orang sepakat menyebut Indonesia masa kini, diharapkan sekian persoalan rumit dan ruwet itu dapat segera terselesaikan sehingga masyarakat Indonesia bisa menyongsong masa depan yang cerah, demokratis, adil, dan sejahtera. Pada Era Reformasi, pembaharuan tata politik nasional dalam suasana transisi menuju demokrasi dimulai dengan Pemilu 1999. Pemilu ini dinilai sukses merestrukturisasi kepemimpinan nasional dan lokal secara demokratis, menghasilkan sejumlah pembaruan konstitusi dan tata hukum turunannya, mendesentralisasi kekuasaan, dll.
Namun, meski harus tetap diakui ada beberapa capaian positifnya, perubahan-perubahan itu masih lebih bersifat prosedural, sedikit sekali—atau bahkan sama sekali tidak—membawa perubahan yang lebih substansial. Tatanan politik lama masih menjadi corak pekat kehidupan politik kini. Korupsi, kolusi, dan nepotisme masih mewarnai berbagai lembaga yang menjadi tulang punggung penataan format kenegaraan Indonesia. Lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif masih diwarnai oleh segunung penyakit kronis yang memberi efek buruk dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Meski secara formal dan simbolik rezim neofasis-militer Orde Baru sudah runtuh delapan tahun lalu, namun sekian banyak penyakit warisannya masih membekas. Salah satunya adalah, kebijakan yang membuat rumit jalur-jalur birokrasi dan tata pemerintahan. Akibatnya penyakit korupsi sulit sekali untuk diberantas, sebagai efek dari sistemiknya jejaring yang telah dibangun oleh Orde Baru untuk menciptakan budaya korupsi –dikatakan belum afdhol, jika seorang pejabat belum melakukan tindakan korupsi di masa jabatannya-.
Korupsi yang merajalela dalam sistem birokrasi Indonesia, salah satu sebabnya adalah model birokrasi patrimonial yang dianut oleh Indonesia,[1] seperti dikemukakan oleh Weber, birokrasi patrimonial ialah suatu sistem birokrasi dimana jabatan dan perilaku dalam keseluruhan hirarki birokrasi lebih didasarkan pada hubungan familier, hubungan pribadi dan hubungan ‘bapak-anak buah’ (patron client).[2] Max weber berkeyakinan, struktur birokrasi patrimonial akan tidak melancarkan perkembangan ekonomi yang berciri kapitalis dan swasta, sebab terdapat banyak ketidakselarasan antara sistem patrimonial dan dan bentuk pertumbuhan industri ekonomi yang berwatak kapitalis.[3]
Dorojatun Kuntjoro Jakti menyebut birokrasi patrimonial serupa dengan lembaga perkawulaan, di mana patron adalah gusti atau juragan, dan klien adalah kawula. Hubungan anatara gusti-kawula bersifat ikatan pribadi, implisit dianggap mengikat seluruh hidup, seumur hidup, dengan loyalitas primordial sebagai dasar pertalian hubungan.[4] Mansyur Semma dalam disertasinya “Negara dan korupsi dalam Pandangan Mochtar Lubis”, seperti diterangkan dalam KOMPAS, 21 November 2006, menjelaskan: …bahwa warisan birokrasi patrimonial modern dan masa feodalismenya di Indonesia telah menimbulkan birokrasi nepotisme, yang memberi jabatan atau jasa khusus kepada sanak dan sahabat. Dalam lingkungan yang seperti itu, korupsi dianggap sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja dan masyarakat pun tidak marah jika mengetahui berbagai tindakan korup yang telah terjadi.
Mengenai cakupan dari lapangan birokrasi itu sendiri, Fred Riggs menjelaskan bahwa birokrasi yaitu keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang melakukan tugas membantu pemerintah, dan mereka menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.[5] Senada dengan Riggs, Etzioni dan Halevy juga mendefinisikan birokrasi sebagai organisasi hirarkis pemerintah yang ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani kepentingan umum.[6] Lebih jauh Etzioni dan Halevy menjelaskan birokrasi diharapkan bersikap netral sekaligus patuh, hanya bertanggung jawab pada pekerjaan yang diurusi dan sekaligus tunduk pada tanggung jawab yang sudah digariskan oleh kementrian (departemen) masing-masing. Intinya birokrasi harus bersikap politis dan non politis pada saat yang sama.[7]
Apabila kita telaah dari perspektif sejarah, model-model birokrasi di Indonesia, sudah dimulai sejak model kepagawaian sipil pribumi diterapkan di Jawa, model ini berkembang pada akhir masa kekuasaan kolonial. Para pegawai sipil pribumi ini disebut dengan sebutan ‘Pangreh praja’ atau penguasa kerajaan, sedangkan oleh Belanda mereka disebut dengan inlandsch bestuur atau pemerintahan pribumi.[8] Pada masa tersebut sebenarnya telah diadakan upaya-upaya untuk mentransformasikan sistem birokrasi patrimonial menuju sistem birokrasi yanmg rasional. Proyek ini dikerjakan melalui serangkaian reformasi-reformasi yang masuk akal, mulai dari perekrutan pegawai, pelatihan, prosedur promosi dan spesialisasi fungsional.[9] Akan tetapi, dalam perjalanannya proyek ini tidak sepenuhnya berhasil, atau boleh dikatakan nihil. Hal ini terjadi akibat dari masih kuatnya hegemoni dan dominasi dari pemerintahan kolonial yang berkuasa, imbasnya pemerintahan pribumi sebagai bawahan harus manut takluk pada penjajah sebagai atasan. Tradisi semacam inilah yang selanjutnya berkembang hingga mencapai puncaknya pada masa Orde Baru, dan terus berlanjut hingga sekarang.
Selain pengaruh dari sistem birokrasi patrimonial, kekuasaan absolut birokrasi juga semakin berkembang karena konsepsi negara modern yang mempunyai kapasitas untuk memonitor ekonomi rakyatnya dan kemampuannya untuk menyediakan pelayanan publik.[10] Konsepsi negara modern selanjutnya meningkat kapasitasnya menjadi sistem negara kesejahteraan (welfare state), yang mengharuskan birokrasi untuk kuat dalam menjalankan peran-peran tersebut. Birokrasi dalam negara modern menjadi aktor yang memberikan alokasi bagi sumber-sumber daya yang terus bertambah. Akibatnya, semakin banyak orang yang menggantungakn hidupnya pada birokrasi, demi menjamin kelangsungan hidupnya.[11] Pada titik inilah birokrasi menjadi sumber terjadinya tindakan korupsi yang dilakukan oleh para birokrat, atau orang yang menggantungkan hidupnya pada birokrasi. Tindakan semacam ini menjadi semakin menguat setelah rezim Orde Baru menerapkan fungsionalisme Parsonian[12] secara membabi buta. Sebagai bagian dari proyek besar Amerika Serikat untuk menghegemoni konstruksi pemikiran para intelektual Indonesia. Banyak teori-teori diciptakan untuk memberi legitimasi atas model-model pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru, seperti halnya teori tinggal landas dan teori repilita.[13] Model-model seperti itulah yang kemudian menjadi pemicu lahirnya jejaring korupsi yang sistemik, karena para koruptor dalam jalur-jalur birokrasi berusaha melindungi tindakannya dengan berbagai macam teori, dan meligitimasinya dengan berbagai aturan hukum. Rezim despotis Soeharto sengaja menciptakan suatu bentuk masyarakat birokratis untuk mendukung terjadinya penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh para kapitalis birokrat. Lans Castle memberikan ciri pada masyarakat birokratik yaitu: Pertama, lembaga politiok yang dominan adalah aparat birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politiok lainnya, seperti parlemen, partai politik, dan interest group semuanya lemah dan tidak mampu melakukan balance, serta kontrol kepada birokrasi. Ketiga, massa di luar birokrasi secara politis dan ekonomis pasif, yang merupakan sebab terpenting melemahnya peraran partai politik, dan secara timbal balik menguatkan peranan birokrasi.[14]
Jawaban atas carut-marutnya berbagai persoalan yang ada dalam sistem birokrasi Indonesia adalah adanya reformasi sistem birokrasi. Reformasi ini dapat diwujudkan dengan perubahan dari sistem birokrasi patrimonial menuju sisitem birokrasi yang rasional, sebab birokrasi rasional merupakan unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern.[15] Seperti halnya pemerintahan kolonial pada masa yang lampau, reformasi birokrasi dapat dimula dari sistem perekrutan pegawai, di mana pada tahap inilah akan diketahui bagaimana kapabilitas dari masing-masing calon pegawai, untuk itu diperlukan suatu seleksi ketat. Model seleksi semacam ini sebenarnya sudah diterapkan sejak lama, tercatat semenjak tahun 1864, pemerintah kolonial Belanda sudah mengadakan “Ujian Kleinambtenaars” untuk mengangkat pegawai-pegawai kecil pemerintah. Seleksi ini dimaksudkan untuk memeriksa pekerjaan apa yang cocok bagi peserta seleksi tersebut. Materi seleksi meliputi kecakapan berhitung dan kemampuan tulis-menulis dalam bahasa Belanda.[16] Permintaan untuk melakukan reformasi birokrasi menjadi semakin bertambah kuat seiring dengan berjatuhannya rezim-rezim otoritarian di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk di dalamnya runtuhnya Soeharto pada 1998. Runtuhnya Soeharto menandai lahirnya sebuah wacana baru tentang good governance.
ENDNOTE:
[1] Birokrasi patrimonial telah menjadi sumber masalah, diantaranya adalah menjadikan tindakan korupsi sebagai suatu kebiasaan. Seperti diungkapkan KOMPAS, 21 November 2006. Dalam masyarakat barat, birokrasi patrimonial berkembang pada masa pra kapitalis, di mana feodalisme masih mengakar kuat.
[2] Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia, Jurnal Prisma No.10 Tahun IX Oktober 1980, hal. 21. sebagaimana diambli dari Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization.
Lebih jauh Muhaimin menjelaskan, perilaku ini bisa mengakibatkan paham “bapakisme”, seperti marak pada zaman Orde baru dengan istilah Asal bapak Senang. Dengan menggunakan analisa Weberian juga, Mochtar Lubis menjelaskan segenap akar tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia. Menurut dia, negara birokrasi patrimonial adalah lingkungan terbaik bagi tumbuh suburnya korupsi.korupsi banyak dilakukan dengan menggunakan kedok birokrasi, seperti badan pengawas keuangan, Irjen di tiap departemen, parlemen, dan kejaksaan. Sebagaimana dijelaskan Mansyur Semma, dalam Korupsi Sudah Menjadi Kebiasaan: Birokrasi Patrimonial Sumber Masalah, Kompas, 21 November 2006, hal. 13.
[3] Yahya Muhaimin, Ibid., hal. 27.
[4] Dorojatun Kuntjoro Jakti, Birokrasi di Dunia Ketiga: Alat Rakyat, Alat Penguasa, atau Penguasa, Jurnal Prisma No.10 Tahun IX Oktober 1980, hal. 6.
[5] Yahya Muhaimin, Op.Cit., hal. 21.
[6] Eva Etzioni and Halevy, Beureaucratic Power-A Democratic Dilemma, 1983, hal. 1.
Secara umum, para pemikir tentang birokrasi banyak merumuskan batasan-batasan birokrasi yang dikemukakan oleh Weber, hal ini disebabkan karena Weber sendiri tidak memberikan pengertian yang tegas tentang birokrasi.
[7] Eva Etzioni and Halevy, Ibid., hal. 3.
[8] Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hal. 25). Para pejabat pribumi ini merupakan suatu kelas penguasa yang ditakuti dan dikagumi, tetapi mereka itu merupakan wakil-wakil bawahan dari kekuasaan asing.
[9] Heather Sutherland, Ibid., hal. 26.
[10] Lihat R.M. Mac Iver, Negara Modern (terj), (Jakarta: Aksara Baru, 1977).
[11] Eva Etzioni and Halevy, Op. Cit., hal. 4.
[12] Talcott Parson, salah seorang sosiolog Amerika, yang mengembangkan pemikiran fungsionalisme, dimana segala sesuatu diukur dari fungsi sesuatu tersebut. Pemikiran Parson dibawa ke Indonesia oleh para intelektual Indonesia yang dididik di AS. Parson banyak memberikan analisis dan komentar atas pemikiran Weber.
[13] Pada dekade 1970-an hingga 1990-an Ilmuwan sosial dengan dukungan dari negara menyelenggarakan berbagai penelitian, seminar dan lokakarya, yang membicarakan bagaimanan supaya ilmu sosial bisa relevan bagi pembangunan (Vedi R. hadiz dan Daniel Dhakidae, ed, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, (Jakarta: Equinox Publishing, 2006), hal.10.
Terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, pada masa pemerintahan Suharto usaha ini tidak pernah berhasil, berbagai lembaga dibentuk untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, namun hasilnya selalu nihil, karena pada masa Suharto, korupsi sudah menjadi bagian dari sistem.
[14] Yahya Muhaimin, Op.Cit., hal. 26-27.
[15] Martin Albrow, Birokrasi terj), (Yogyakarta: Tiara Wacana 2005), hal. 42. Bagi Werber, proses rasionalisasi dunia modern adalah lebih penting, daripada seluruh proses sosial.
[16] Heather Sutherland, Op.Cit., hal. 50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar